Jumat, 30 Desember 2011

Janda Muda

Rintik-rintik hujan mulai turun semakin lebat. Mbak Limah yang bekerja di rumah abangku ini bergegas ke halaman belakang untuk mengambil jemuran. Kemudian, “Den Mad!”, teriaknya keras dari belakang rumah. Aku berlari menuju arah suaranya dan melihat Mbak Limah terduduk di tepi jemuran. Kain jemuran berhamburan di sekitarnya.

“Den Mad, tolong Mbak Limah bawakan kain ini masuk”, pintanya sambil menyeringai mungkin menahan sakit.
“Mbak tadi tergelincir”, sambungnya.
Aku hanya mengangguk sambil mengambil kain yang berserakan lalu sebelah tanganku coba membantu Mbak Limah berdiri.

“Sebentar Mbak. Saya bawa masuk dulu kain ini”, kataku sembari membantunya memegang kain yang berada di tangan Mbak Limah. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kain jemuran kuletakkan di atas kasur, di kamar Mbak Limah. Ketika aku menghampiri Mbak Limah lagi, dia sudah separuh berdiri dan mencoba berjalan terhuyung-huyung. Hujan semakin lebat seakan dicurahkan semuanya dari langit.

Aku menuntun Mbak Limah masuk ke kamarnya dan mendudukkan di kursi. Dadaku berdetak kencang ketika tanganku tersentuh buah dada Mbak Limah. Terasa kenyal sehingga membuat darah mudaku tersirap naik. Kuakui walau dalam umur awal 30-an ini Mbak Limah tidak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kakak iparku yang berusia 25 tahun. Kulitnya kuning langsat dengan potongan badannya yang masih menarik perhatian lelaki. Tidak heran, pernah Mbak Limah kepergok oleh abangku bermesraan dengan laki-laki lain.

“Tolong ambilkan Mbak handuk”, pinta Mbak Limah ketika aku masih termangu-mangu.
Aku menuju ke lemari pakaian lalu mengeluarkan handuk dan kuberikan kepadanya.
“Terima kasih Den Mad”, katanya dan aku cuma mengangguk-angguk saja.
Kasihan Mbak Limah, dia adalah wanita yang paling lemah lembut. Suaranya halus dan lembut. Bibirnya senantiasa terukir senyum, walaupun dia tidak tersenyum. Rajin dan tidak pernah sombong atau membantah. Dianggapnya rumah abangku seperti rumah keluarganya sendiri. Tak pernah ada yang menyuruhnya karena dia tahu tanggung jawabnya.

Kadang-kadang saya memberinya sedikit uang, bila saya datang ke sana. Bukan karena apa, sebab dia mempunyai sifat yang bisa membuat orang sayang kepadanya. Abangku tidak pernah memarahinya. Gajinya setiap bulan disimpan di bank. Pakaiannya dibelikan oleh kakak iparku hampir setiap bulan. Memang dia cantik, dan tak tahu apa sebabnya hingga suaminya menceraikannya. Kabarnya dia benci karena suaminya main serong. Hampir 6 tahun lebih dia menjanda setelah menikah hanya 3 bulan. Sekarang dia baru berusia 33 tahun, masih muda.

Kalau masalah kecantikan, memang kulitnya putih. Dia keturunan Cina. Rambutnya mengurai lurus hingga ke pinggang. Dibandingkan dengan kakak iparku, masing-masing ada kelebihannya. Kelebihan Mbak Limah ialah sikapnya kepada semua orang. Budi bahasanya halus dan sopan.

Mbak Limah berdiri lalu mencoba berjalan menuju ke kamar mandi. Melihat keadaannya masih terhuyung-huyung, dengan cepat kupegang tangannya untuk membantu. Sebelah tanganku memegang pinggang Mbak Limah. Kutuntun menuju ke pintu kamar mandi. Terasa sayang untuk kulepaskan peganganku, sebelah lagi tanganku melekat di pinggangnya.

Mbak Limah menghadap ke diriku saat kutatap wajahnya. Mata kami saling bertatapan. Kulihat Mbak Limah sepertinya senang dan menyukai apa yang kulakukan. Tanganku jadi lebih berani mengusap-usap lengannya lalu ke dadanya. Kuusap dadanya yang kenyal menegang dengan puting yang mulai mengeras. Kudekatkan mulutku untuk mencium pipinya. Dia berpaling menyamping, lalu kutarik lagi pipinya. Mulut kamipun bertemu. Aku mencium bibirnya. Inilah pertama kalinya aku melakukannya kepada seorang wanita.

Erangan halus keluar dari mulut Mbak Limah. Ketika kedua tanganku meremas punggungnya dan lidahku mulai menjalari leher Mbak Limah. Ini semua akibat film BF dari CD-Rom yang sering kutonton dari rumah teman.

Mbak Limah bersandar ke dinding, tetapi tidak meronta. Sementara tanganku menyusup masuk ke dalam bajunya, mulut dan lidahnya kukecup. Kuhisap dan kugelitik langit-langit mulutnya. Kancing BH-nya kulepaskan. Tanganku bergerak bebas mengusap buah dadanya. Putingnya kupegang dengan lembut. Kami sama-sama hanyut dibuai kenikmatan walaupun kami masih berdiri bersandar di dinding.

Kami terangsang tak karuan. Nafas kami semakin memburu. Aku merasa tubuh Mbak Limah menyandar ke dadaku. Dia sepertinya pasrah. Baju daster Mbak Limah kubuka. Di dalam cahaya remang dan hujan lebat itu, kutatap wajahnya. Matanya terpejam. Daging kenyal yang selama ini terbungkus rapi menghiasi dadanya kuremas perlahan-lahan.

Bibirku mengecup puting buah dadanya secara perlahan. Kuhisap puting yang mengeras itu hingga memerah. Mbak Limah semakin gelisah dan nafasnya sudah tidak teratur lagi. Tangannya liar menarik-narik rambutku, sedangkan aku tenggelam di celah buah dadanya yang membusung. Mulutnya mendesah-desah, “Ssshh…, sshh!”.

Puting payudaranya yang merekah itu kujilat berulangkali sambil kugigit perlahan-lahan. Kulepaskan ikatan kain di pinggangnya. Lidahku kini bermain di pusar Mbak Limah, sambil tanganku mulai mengusap-usap pahanya. Ketika kulepaskan ikatan kainnya, tangan Mbak Limah semakin kuat menarik rambutku.

“Den Maddd…, Den Mad”, suara Mbak Limah memanggilku perlahan. Aku terus melakukan usapanku. Nafasnya terengah-engah ketika celana dalamnya kutarik ke bawah. Tanganku mulai menyentuh daerah kemaluannya. Rambut halus di sekitar kemaluannya kuusap-usap perlahan.

Ketika lidahku baru menyentuh kemaluannya, Mbak Limah menarikku berdiri. Pandangan matanya terlihat sayu bagai menyatakan sesuatu. Pandangannya ditujukan ke tempat tidurnya. Aku segera mengerti maksud Mbak Limah seraya menuntun Mbak Limah menuju tempat tidur. Bau kemaluannya merangsang sekali. Dengan satu bau khas yang sukar diceritakan.

“Den Maddd…”, bisiknya perlahan di telingaku. Aku terdiam sambil mengikuti apa yang kuinginkan. Mbak Limah sepertinya membiarkan saja. Kami benar-benar tenggelam. Mbak Limah kini kutelanjangkan. Tubuhnya berbaring telentang sambil kakinya menyentuh lantai. Seluruh tubuhnya cukup menggiurkan. Mukanya berpaling ke sebelah kiri. Matanya terpejam. Tangannya mendekap kain sprei. Buah dadanya membusung seperti minta disentuh.

Puting susunya terlihat berair karena liur hisapanku tadi. Perutnya mulus dan pusarnya cukup indah. Kulihat tidak ada lipatan dan lemak seperti perut wanita yang telah melahirkan. Memang Mbak Limah tidak memiliki anak karena dia bercerai setelah menikah 3 bulan. Kakinya merapat. Karena itu aku tidak dapat melihat seluruh kemaluannya. Cuma sekumpulan rambut yang lebat halus menghiasi bagian bawah.

Kemudian, tanganku terus membuka kancing bajuku satu-persatu. ritsluiting jeans-ku kuturunkan. Aku telanjang bulat di hadapan Mbak Limah. Penisku berdiri tegang melihat kecantikan sosok tubuh Mbak Limah. Buah dada yang membusung dihiasi puting kecil dan daerah di bulatan putingnya kemerah-merahan. Indah sekali kupandang di celah pahanya. Mbak Limah telentang kaku. Tidak bergerak. Cuma nafasnya saja turun naik.

Lalu akupun duduk di pinggir kasur sambil mendekap tubuh Mbak Limah. Sungguh lembut tubuh mungil Mbak Limah. Kupeluk dengan gemas sambil kulumat mesra bibir ranumnya. Tanganku meraba seluruh tubuhnya. Sambil memegang puting susunya, kuremas-remas buah dada yang kenyal itu. Kuusap-usap dan kuremas-remas. Nafsuku terangsang semakin hebat. Penisku menyentuh pinggang Mbak Limah. Kudekatkan penisku ke tangan Mbak Limah. Digenggamnya penisku erat-erat lalu diusap-usapnya.

Memang Mbak Limah tahu apa yang harus dilakukan. Maklumlah dia pernah menikah. Dibandingkan denganku, aku cuma tahu teori dengan melihat film BF, itu saja. Tanganku terus mengusap perutnya hingga ke celah selangkangannya. Terasa berlendir basah di kemaluannya.

Aku beralih dengan posisi 69. Rupanya Mbak Limah mengerti keinginanku. Lalu dipegangnya penisku yang sudah tegang dan dimasukkannya ke dalam mulutnya. Mataku terpejam-pejam ketika lidah Mbak Limah melumat kepala penisku dengan lembut. Penisku dikulum sampai ke pangkalnya. Sukar untuk dibayangkan betapa nikmatnya diriku. Bibir Mbak Limah terasa menarik-narik batang penisku. Tidak tahan diperlakukan begitu aku lalu mengerang menahan nikmat.

Kubuka lebar-lebar paha Mbak Limah sambil mencari liang vaginanya. Kusibakkan vaginanya yang telah basah itu. Kujulurkan lidahku sambil memegang clitorisnya. Mbak Limah mendesah. Kujilat-jilat dengan lidahku. Kulumat dengan mulutku. Liang kemaluan Mbak Limah semakin memerah. Bau kemaluannya semakin kuat. Aku jadi semakin terangsang. Seketika kulihat air berwarna putih keluar dari lubang vaginanya. Tentu Mbak Limah sudah cukup terangsang, pikirku.

Aku kembali pada posisi semula. Tubuh kami berhadapan. Tangannya menarik tubuhku untuk rebah bersama. Buah dadanya tertindih oleh dadaku. Mbak Limah memperbaiki posisinya ketika tanganku mencoba mengusap-usap pangkal pahanya. Kedua Kaki Mbak Limah mulai membuka sedikit ketika jariku menyentuh kemaluannya. Lidahku mulai turun ke dadanya. Putingnya kuhisap sedikit kasar. Punggung Mbak Limah terangkat-angkat ketika lidahku mengitari perutnya.

Akhirnya jilatanku sampai ke celah pahanya. Mbak Limah semakin membuka pahanya ketika aku menjilat clitorisnya, kulihat Mbak Limah sudah tidak bergerak lagi. Kakinya kadang-kadang menjepit kepalaku sedangkan lidahku sibuk mencari tempat-tempat yang bisa mendatangkan kenikmatan baginya.

Erangan Mbak Limah semakin kuat dan nafasnya pun yang terus mendesah. Rambutku di tarik-tariknya dengan mata terpejam menahan kenikmatan. Aku bertanya, “Gimana Mbak rasanya?”, suaraku lembut dan sedikit manja. Dia tidak menjawab. Dia hanya membuka matanya sedikit sambil menarik napas panjang. Aku mengerti. Itu bertanda dia setuju. Tanpa disuruh, aku mengarahkan penisku ke arah lubang vaginanya yang kini telah terbuka lebar. Lendir dan liurku telah banjir di gerbang vaginanya.

Kugesek-gesekan kepala penisku di cairan yang membanjir itu. Perlahan-lahan kutekan ke dalam. Tekanan penisku memang agak sedikit susah. Terasa sempit. Kulihat Mbak Limah menggelinjang seperti kesakitan.

“Pelan-pelan Den Madd!”, Mbak Limah berbicara dengan nafas sesak. Aku sekarang mengerti. Kemaluan Mbak Limah sudah sempit lagi setelah 6 tahun tidak disetubuhi, walaupun dia sudah tidak perawan lagi. Memang aku belum berpengalaman kerena ini merupakan pertama kalinya aku menyetubuhi seorang wanita walau umurku sudah matang.

Kutekan lagi. Kumasukkan penisku perlahan-lahan. Kutekan punggungku ke depan. sangat hati-hati. Terasa memang sempit. Lalu Mbak Limah memegang lenganku erat-erat. Mulutnya meringis seperti orang sedang menggigit tulang. Hanya sebagian penisku yang masuk. Kubiarkan sebentar penisku berhenti, terdiam. Mbak Limah juga terdiam. Tenang.

Sementara itu, kupeluk tubuh Mbak Limah dengan gemas sambil memainkan buah dadanya, menjilat, mengusap dan menggigit-gigit lembut. Mulutnya kukecup sambil lidahnya kumainkan. Kami memang sudah sangat bernafsu dan terangsang.

Lalu kemudian aku bertanya dengan suara lembut, “Mau diteruskan…?”. Mbak Limah membuka matanya. Di bibirnya terlihat senyum manis yang menggairahkan.
Kutekan penisku ke dalam. Kemudian kutarik ke belakang perlahan-lahan. Kuhentakkan perlahan-lahan. Memang sempit kemaluan Mbak Limah, mencengkram seluruh batang penisku. Penisku terasa seperti tersedot di dalam vagina Mbak Limah. Kami makin terangsang!

Penisku mulai memasuki kemaluan Mbak Limah lebih lancar. Terasa hangatnya sungguh menggairahkan. Mata Mbak Limah terbuka menatapku dengan pandangan yang sayu ketika penisku mulai kukeluar-masukkan. Bibirnya dicibirkan rapat-rapat seperti tidak sabar menunggu tindakanku selanjutnya.

Sedikit demi sedikit penisku masuk sampai ke pangkalnya. Mbak Limah mendesah dan mengerang seiring dengan keluar-masuknya penisku di kemaluannya. Kadang-kadang punggung Mbak Limah terangkat-angkat menyambut penisku yang sudah melekat di kemaluannya.

Berpuluh-puluh kali kumaju-mundurkan penisku seiring dengan nafas kami yang tidak teratur lagi. Suatu ketika aku merasakan badan Mbak Limah mengejang dengan mata yang tertutup rapat. Tangannya memeluk erat-erat pinggangku. Punggungnya terangkat tinggi dan satu keluhan berat keluar dari mulutnya secara pelan. Denyutan di kemaluannya terasa kuat seakan melumatkan penisku yang tertanam di dalamnya.

Goyanganku semakin kuat. Kasur Mbak Limah bergoyang mengeluarkan bunyi berdecit-decit. Leher Mbak Limah kurengkuh erat sambil badanku rapat menindih badannya. Ketika itu seolah-olah aku merasakan ada denyutan yang menandakan air maniku akan keluar. Denyutan yang semakin keras membuat penisku semakin menegang keras. Mbak Limah mengimbanginya dengan menggoyangkan pinggulnya.

Goyanganku semakin kencang. Kemaluan Mbak Limah semakin keras menjepit penisku. Kurangkul tubuhnya kuat-kuat. Dia diam saja. Bersandar pada tubuhku, Mbak Limah lunglai seperti tidak bertenaga. Kugoyang terus hingga tubuh Mbak Limah seperti terguncang-guncang. Dia membiarkan saja perlakuanku itu. Nafasnya semakin kencang.

Dalam keadaan sangat menggairahkan, akhirnya aku sampai ke puncak. Air maniku muncrat ke dalam kemaluan Mbak Limah. Bergetar badanku saat maniku muncrat. Mbak Limah mengait pahaku dengan kakinya. Matanya terbuka lebar memandangku. Mukanya serius. Bibir dan giginya dicibirkan. Nafasnya terengah-engah. Dia mengerang agak kuat.

Waktu aku memuntahkan lahar maniku, tusukanku dengan kuat menghunjam masuk ke dalam. Kulihat Mbak Limah menggelepar-gelepar. Dadanya terangkat dan kepalanya mendongak ke belakang. Aku lupa segala-galanya. Untuk beberapa saat kami merasakan kenikmatan itu. Beberapa tusukan tadi memang membuat kami sampai ke puncak bersama-sama. Memang hebat. Sungguh puas.

Memang inilah pertama kalinya aku melakukan senggama. Mbak Limah lah wanita pertama yang mendapatkan air perjakaku. Walaupun dia seorang janda, bagiku dia adalah wanita yang sangat cantik. Waktu kami melakukan senggama tadi, kami berkhayal entah kemana. Mbak Limah memang hebat dalam permainannya. Sebagai seorang yang tidak pernah merasakan kenikmatan persetubuhan, bagiku Mbak Limah betul-betul memberiku surga dunia.

Aku terbaring lemas di sisi Mbak Limah. Mataku terpejam rapat seolah tidak ada tenaga untuk membukanya. Dalam hati aku puas karena dapat mengimbangi permainan ranjang Mbak Limah. Kulihat Mbak Limah tertidur di sebelahku. Kejadian yang tidak pernah kuimpikan, terjadi tanpa dapat dielakkan. Mbak Limah juga telentang dengan mata tertutup seperti kelelahan, mungkin lelah setelah dapat menghilangkan keinginan batinnya sejak menjanda 6 tahun yang lalu.

Kami masih berpelukan. Kemudian Mbak Limah terasa seperti mengusap mukaku. Kubuka mataku. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Seolah-olah kami tidak merasa aneh berpelukan tanpa sehelai benang pun di tubuh kami. Dia mencium bibirku.

Dia berbisik ketelingaku, “Terima kasih ya Den Mad. Mbak…” Belum sempat dia menghabiskan kata-katanya, aku bertanya, “Mbak puas…?”. Dia tersenyum dan mengangguk. “Dua kali!”, jawabnya ringkas.
“Den Mad kamu memang hebat, penismu juga besar! Panjang!”, katanya.
Sementara itu ia mengocokkan batang penisku. Suaranya membangkitkan gairahku.

“Mbak suka?”, tanyaku. Dia tersenyum. Dia mengangguk tanda suka. Saat itu juga tanganku memegang buah dadanya. Tangannya mengocok terus penisku. Penisku tegang lagi. Kami jadi terangsang lagi.

“Mbak mau lagi?”, tanyaku dengan suara manja. Dia tersenyum manis. Apa yang kuimpikan kini benar-benar menjadi kenyataan. Perlahan-lahan kubuka selimutnya. Kulihat kaki Mbak Limah sudah mengejang. Sedikit demi sedikit terus kutarik selimutnya ke bawah. Segunduk daging mulai terlihat. Ufff…, detak jantungku kembali berdegup kencang. Kunikmati kembali tubuh Mbak Limah tanpa perlawanan. Gundukan bukit kecil yang bersih, dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekelilingnya, tampak berkilat di depanku.

Kurentangkan kedua kakinya hingga terlihat sebuah celah kecil di balik gundukan bukit Mbak Limah. Kedua belahan bibir mungil kemaluannya kubuka. Melalui celah itu kulihat semua rahasia di dalamnya. Aku menelan air liurku sendiri sambil melihat kenikmatan yang telah menanti. Kudekatkan kepalaku untuk meneliti pemandangan yang lebih jelas. Memang indah membangkitkan birahi. Tak mampu aku menahan ledakan birahi yang menghambat nafasku. Segera kudekatkan mulutku sambil mengecup bibir kemaluan Mbak Limah dengan bibir dan lidahku.

Rakus sekali lidahku menjilati setiap bagian kemaluan Mbak Limah. Terasa seperti tak ingin aku menyia-nyiakan kesempatan yang dihidangkannya. Setiap kali lidahku menekan keras ke bagian daging kecil yang menonjol di mulut vaginanya, Mbak Limah mendesis dan mendesah keenakan. Lidah dan bibirku menjilat dan mengecup perlahan. Beberapa kali kulihat Mbak Limah mengejangkan kakinya.

Aku sangat menikmati bau khas dari liang kemaluan Mbak Limah yang memenuhi relung hidungku. Membuat lidahku bergerak semakin menggila. Kutekan lidahku ke lubang kemaluan Mbak Limah yang kini sedikit terbuka. Rasanya ingin kumasukkan lebih dalam lagi, tapi tidak bisa. Mungkin karena lidahku kurang keras. Tetapi, kelunakan lidahku itu membuat Mbak Limah beberapa kali mengerang karena nikmat.

Dalam keadaan sudah terangsang, kutarik tubuh Mbak Limah ke posisi menungging. Ia menuruti permintaanku dan bertanya dengan nada manja.
“Den Mad mau diapakan badan Mbak?”, bisiknya.
Aku rasa dia tak pernah diperlakukan seperti ini oleh suaminya dulu. Aku diam saja. Kuatur posisinya. Tangannya meremas sprei hingga kusut. Air mani Mbak Limah sudah membasahi kemaluannya. Kubuka pintu kemaluannya. Kulihat dan perhatikan dengan seksama. Memang aku tidak pernah melihat kemaluan wanita serapat itu. Kucium kemaluan Mbak Limah. Bau anyir dan bau air maniku bercampur dengan bau asli vagina Mbak Limah yang merangsang. Bau vagina seorang wanita!

Jelas semua! Bulu kemaluan Mbak Limah yang lembab dan melekat berserakan di sekitar vaginanya. Kusibakkan sedikit untuk memberi ruang. Kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang vaginanya. Kumain-mainkan di dalamnya. Kulihat Mbak Limah menggoyang punggungnya. Kucium dan kugigit daging kenyal punggungnya yang putih bersih itu. Kemudan kurangkul pinggangnya. Kumasukkan penisku ke liang vaginanya. Pinggang Mbak Limah seperti terhentak.

Perlahan-lahan kutusukkan penisku yang besar panjang ke lubang vaginanya dengan posisi “doggy-style”. Tusukanku semakin kencang. Nafsu syahwatku kembali sangat terangsang. Kali ini berkali-kali aku mendorong dan menarik penisku. Hentakanku memang kasar dan ganas. Kuraih pinggang Mbak Limah. Kemudian beralih ke buah dadanya. Kuremas-remas semauku, bebas. Rambutnya acak-acakan.

Lama juga Mbak Limah menahan lampiasan nafsuku kali ini. Hampir setengah jam. Maklumlah ini adalah kedua kalinya. Tusukanku memang hebat. Kadang cepat, kadang pelan. Kudorong-dorong tubuh Mbak Limah. Dia melenguh. Dengusan dari hidungnya memanjang. Berkali-kali. Seperti orang terengah-engah kecapaian. “Ehh.. ek, Ekh, Ekh.”

Akirnya aku merasakan air maniku hampir muntah lagi. Waktu itu kurangkul kedua bahu Mbak Limah sambil menusukkan penisku ke dalam. Tenggelam semuanya hingga ke pangkalnya. Waktu itulah kumuntahkan spermaku. Kutarik lagi, dan kuhunjamkan lagi ke dalam. Tiga empat kali kugoyang seperti itu. Mbak Limah terlihat pasrah mengikuti hentakanku.

Kemudian kupeluk tubuhnya walaupun penisku masih tertancap di dalam kemaluannya. Kuelus-elus buah dadanya. Kudekati mukanya. Kami berciuman. Begitu lama hingga terasa penisku kembali normal. Mbak Limah sepertinya kelelahan. Keringat bercucuran di dahi kami. Kami telentang miring sambil berpelukan. Mbak Limah terlihat lemas lalu tertidur.

Melihat Mbak Limah begitu, dan hujan masih belum reda, birahiku bangkit kembali. Kurangkul tubuh Mbak Limah dan aku bermain sekali lagi. Kali ini Mbak Limah menyerah. Dia tidak menolak. Kumainkan kemaluannya sampai puas. Bau di kamar ini adalah bau air mani kami. Bunyi tempat tidur pun berdecit-cit. “Ahh… aaghh.”

Sesudah itu perlahan-lahan aku berdiri dan memakai kembali pakaianku. Aku keluar dari kamar Mbak Limah menuju ke ruang depan. Sewaktu aku keluar, barulah aku sadar pintu kamar Mbak Limah tidak tertutup rapat.

Rupa-rupanya kakak iparku sudah pulang. Mendadak aku pucat kalau-kalau kejadian tadi disaksikan oleh kakak iparku. Aku keluar sambil mencoba berlagak seperti tidak terjadi apa-apa. Kemudian aku duduk di sofa. Sebentar kemudian kakak iparku datang membawa minuman. Kulihat mukanya biasa saja. Kuyakinkan diriku bahwa kakak iparku tidak tahu apa yang telah terjadi tadi antara aku dengan Mbak Limah.

Aku bertanya, “Abang tidak pulang sama Mbak?”
“Tidak. Dia ke Singapore 4 hari!”, jawabnya. Dia tersenyum.
“Minumlah!”, dia mempersilakanku.

Kemudian dia berjalan menuju ke kamarnya. Aku duduk dan menonton film “Airforce One”. “Mbak sebentar lagi mau pergi, ambil mobil di sana. Nanti malam tolong kamu tidur di sini ya, sekilan jaga rumah!”, katanya pendek.

Memang bagitulah biasanya. Kalau abangku tidak ada, aku yang jadi sopir kakak iparku untuk membawa Mercedez-nya ke mana-mana. Malam itu aku tidak pulang ke flatku. Tidur di rumah abangku! Memang ada kamar khusus untukku di rumahnya yang cukup besar itu. Tapi yang lebih spesial lagi bagiku adalah tidur dalam pelukan Mbak Limah.

Pasangan suami istri

Kurasa tidak perlu aku ceritakan tentang nama dan asalku, serta tempat dan alamatku sekarang. Usiaku sekarang sudah mendekati empat puluh tahun, kalau dipikir-pikir seharusnya aku sudah punya anak, karena aku sudah menikah hampir lima belas tahun lamanya. Walaupun aku tidak begitu ganteng, aku cukup beruntung karena mendapat isteri yang menurutku sangat cantik. Bahkan dapat dikatakan dia yang tercantik di lingkunganku, yang biasanya menimbulkan kecemburuan para tetanggaku.


Isteriku bernama Resty. Ada satu kebiasaanku yang mungkin jarang orang lain miliki, yaitu keinginan sex yang tinggi. Mungkin para pembaca tidak percaya, kadang-kadang pada siang hari selagi ada tamu pun sering saya mengajak isteri saya sebentar ke kamar untuk melakukan hal itu. Yang anehnya, ternyata isteriku pun sangat menikmatinya. Walaupun demikian saya tidak pernah berniat jajan untuk mengimbangi kegilaanku pada sex. Mungkin karena belum punya anak, isteriku pun selalu siap setiap saat.

Kegilaan ini dimulai saat hadirnya tetangga baruku, entah siapa yang mulai, kami sangat akrab. Atau mungkin karena isteriku yang supel, sehingga cepat akrab dengan mereka. Suaminya juga sangat baik, usianya kira-kira sebaya denganku. Hanya isterinya, woow busyet.., selain masih muda juga cantik dan yang membuatku gila adalah bodynya yang wah, juga kulitnya sangat putih mulus.

Mereka pun sama seperti kami, belum mempunyai anak. Mereka pindah ke sini karena tugas baru suaminya yang ditempatkan perusahaannya yang baru membuka cabang di kota tempatku. Aku dan isteriku biasa memanggil mereka Mas Agus dan Mbak Rini. Selebihnya saya tidak tahu latar belakang mereka. Boleh dibilang kami seperti saudara saja karena hampir setiap hari kami ngobrol, yang terkadang di teras rumahnya atau sebaliknya.

Pada suatu malam, saya seperti biasanya berkunjung ke rumahnya, setelah ngobrol panjang lebar, Agus menawariku nonton VCD blue yang katanya baru dipinjamnya dari temannya. Aku pun tidak menolak karena selain belum jauh malam kegiatan lainnya pun tidak ada. Seperti biasanya, film blue tentu ceritanya itu-itu saja. Yang membuatku kaget, tiba-tiba isteri Agus ikut nonton bersama kami.

"Waduh, gimana ini Gus..? Nggak enak nih..!" 

"Nggak apa-apalah Mas, toh itu tontonan kok, nggak bisa dipegang. Kalau Mas nggak keberatan, Mbak Res diajak sekalian." katanya menyebut isteriku. Aku tersinggung juga waktu itu. Tapi setelah kupikir-pikir, apa salahnya? Akhirnya aku pamit sebentar untuk memanggil isteriku yang tinggal sendirian di rumah.

"Gila kamu..! Apa enaknya nonton gituan kok sama tetangga..?" kata isteriku ketika kuajak. Akhirnya aku malu juga sama isteriku, kuputuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah Agus. Mendingan langsung tidur saja supaya besok cepat bangun. 

Paginya aku tidak bertemu Agus, karena sudah lebih dahulu berangkat. Di teras rumahnya aku hanya melihat isterinya sedang minum teh. Ketika aku lewat, dia menanyaiku tentang yang tadi malam. Aku bilang Resty tidak mau kuajak sehingga aku langsung saja tidur.

Mataku jelalatan menatapinya. Busyet.., dasternya hampir transparan menampakkan lekuk tubuhnya yang sejak dulu menggodaku. Tapi ah.., mereka kan tetanggaku. Tapi dasar memang pikiranku sudah tidak beres, kutunda keberangkatanku ke kantor, aku kembali ke rumah menemui isteriku. Seperti biasanya kalau sudah begini aku langsung menarik isteriku ke tempat tidur. Mungkin karena sudah biasa Resty tidak banyak protes. 

Yang luar biasa adalah pagi ini aku benar-benar gila. Aku bergulat dengan isteriku seperti kesetanan. 

Kemaluan Resty kujilati sampai tuntas, bahkan kusedot sampai isteriku menjerit. Edan, kok aku sampai segila ini ya, padahal hari masih pagi.Tapi hal itu tidak terpikirkan olehku lagi.

Isteriku sampai terengah-engah menikmati apa yang kulakukan terhadapnya. Resty langsung memegang kemaluanku dan mengulumnya, entah kenikmatan apa yang kurasakan saat itu. Sungguh, tidak dapat kuceritakan. 

"Mas.., sekarang Mas..!" pinta isteriku memelas. Akhirnya aku mendekatkan kemaluanku ke lubang kemaluan Resty. Dan tempat tidur kami pun ikut bergoyang.Setelah kami berdua sama-sama tergolek, tiba-tiba isteriku bertanya, "Kok Mas tiba-tiba nafsu banget sih..?"

Aku diam saja karena malu mengatakan bahwa sebenarnya Rini lah yang menaikkan tensiku pagi ini. Sorenya Agus datang ke rumahku, "Sepertinya Mas punya kelainan sepertiku ya..?" tanyanya setelah kami berbasa-basi. 

"Maksudmu apa Gus..?" tanyaku heran.

"Isteriku tadi cerita, katanya tadi pagi dia melihat Mas dan Mbak Resty bergulat setelah ngobrol dengannya." 

Loh, aku heran, dari mana Rini nampak kami melakukannya? Oh iya, baru kusadari ternyata jendela kamar kami saling berhadapan. Agus langsung menambahkan, "Nggak usah malu Mas, saya juga maniak Mas." katanya tanpa malu-malu.

"Begini saja Mas," tanpa harus memahami perasaanku, Agus langsung melanjutkan, "Aku punya ide, gimana kalau nanti malam kita bikin acara..?"

"Acara apa Gus?" tanyaku penasaran.

"Nanti malam kita bikin pesta di rumahmu, gimana..?"

"Pesta apaan..? Gila kamu."

"Pokoknya tenang aja Mas, kamu cuman nyediain makan dan musiknya aja Mas, nanti minumannya saya yang nyediain. Kita berempat aja, sekedar refresing ajalah Mas, kan Mas belum pernah mencobanya..?"

Malamnya, menjelang pukul 20.00, Agus bersama isterinya sudah ada di rumahku. Sambil makan dan minum, kami ngobrol tentang masa muda kami. Ternyata ada persamaan di antara kami, yaitu menyukai dan cenderung maniak pada sex. Diiringi musik yang disetel oleh isteriku, ada perasaan yang agak aneh kurasakan. Aku tidak dapat menjelaskan perasaan apa ini, mungkin pengaruh minuman yang dibawakan Agus dari rumahnya.

Tiba-tiba saja nafsuku bangkit, aku mendekati isteriku dan menariknya ke pangkuanku. Musik yang tidak begitu kencang terasa seperti menyelimuti pendengaranku. Kulihat Agus juga menarik isterinya dan menciumi bibirnya. Aku semakin terangsang, Resty juga semakin bergairah. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini. Tidak berapa lama Resty sudah telanjang bulat, entah kapan aku menelanjanginya. Sesaat aku merasa bersalah, kenapa aku melakukan hal ini di depan orang lain, tetapi kemudian hal itu tidak terpikirkan olehku lagi. Seolah-olah nafsuku sudah menggelegak mengalahkan pikiran normalku.

Kuperhatikan Agus perlahan-lahan mendudukkan Rini di meja yang ada di depan kami, mengangkat rok yang dikenakan isterinya, kemudian membukanya dengan cara mengangkatnya ke atas. Aku semakin tidak karuan memikirkan kenapa hal ini dapat terjadi di dalam rumahku. Tetapi itu hanya sepintas, berikutnya aku sudah menikmati permainan itu. Rini juga tinggal hanya mengenakan BH dan celana dalamnya saja, dan masih duduk di atas meja dengan lutut tertekuk dan terbuka menantang. Perlahan-lahan Agus membuka BH Rini, tampak dua bukit putih mulus menantang menyembul setelah penutupnya terbuka.

"Kegilaan apa lagi ini..?" batinku.

Seolah-olah Agus mengerti, karena selalu saya perhatikan menawarkan bergantian denganku. Kulihat isteriku yang masih terbaring di sofa dengan mulut terbuka menantang dengan nafas tersengal menahan nafsu yang menggelora, seolah-olah tidak keberatan bila posisiku digantikan oleh Agus. Kemudian kudekati Rini yang kini tinggal hanya mengenakan celana dalam. Dengan badan yang sedikit gemetar karena memang ini pengalaman pertamaku melakukannya dengan orang lain, kuraba pahanya yang putih mulus dengan lembut. 

Sementara Agus kulihat semakin beringas menciumi sekujur tubuh Resty yang biasanya aku lah yang melakukannya. Perlahan-lahan jari-jemariku mendekati daerah kemaluan Rini. Kuelus bagian itu, walau masih tertutup celana dalam, tetapi aroma khas kemaluan wanita sudah terasa, dan bagian tersebut sudah mulai basah. Perlahan-lahan kulepas celana dalamnya dengan hati-hati sambil merebahkan badannya di atas meja. Nampak bulu-bulu yang belum begitu panjang menghiasi bagian yang berada di antara kedua paha Rini ini.

"Peluklah aku Mas, tolonglah Mas..!" erang Rini seolah sudah siap untuk melakukannya. Tetapi aku tidak melakukannya. Aku ingin memberikan kenikmatan yang betul-betul kenikmatan kepadanya malam ini. 

Kutatapi seluruh bagian tubuh Rini yang memang betul-betul sempurna. Biasanya aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan, itu pun dengan terhalang pakaian. Berbeda kini bukan hanya melihat, tapi dapat menikmati. Sungguh, ini suatu yang tidak pernah terduga olehku. Seperti ingin melahapnya saja.

Kemudian kujilati seluruhnya tanpa sisa, sementara tangan kiriku meraba kemaluannya yang ditumbuhi bulu hitam halus yang tidak begitu tebal. Bagian ini terasa sangat lembut sekali, mulut kemaluannya sudah mulai basah. Perlahan kumasukkan jari telunjukku ke dalam.

"Sshh.., akh..!" Rini menggelinjang nikmat. Kuteruskan melakukannya, kini lebih dalam dan menggunakan dua jari, Rini mendesis. Kini mulutku menuju dua bukit menonjol di dada Rini, kuhisap bagian putingnya, tubuh Rini bergetar panas. Tiba-tiba tangannya meraih kemaluanku, menggenggam dengan kedua telapaknya seolah takut lepas. Posisi Rini sekarang berbaring miring, sementara aku berlutut, sehingga kemaluanku tepat ke mulutnya. Perlahan dia mulai menjilati kemaluanku. Gantian badanku sekarang yang bergetar hebat.

Rini memasukkan kemaluanku ke dalam mulutnya. Ya ampun, hampir aku tidak sanggup menikmatinya. Luar biasa enaknya, sungguh..! Belum pernah kurasakan seperti ini. Sementara di atas Sofa Agus dan isteriku seperti membentuk angka 69. Resty ada di bawah sambil mengulum kemaluan Agus, sementara Agus menjilati kemaluan Resty. Napas kami berempat saling berkejaran, seolah-olah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Bunyi Music yang entah sudah beberapa lagu seolah menambah semangat kami.

Kini tiga jari kumasukkan ke dalam kemaluan Rini, dia melenguh hebat hingga kemaluanku terlepas dari mulutnya. Gantian aku sekarang yang menciumi kemaluannya. Kepalaku seperti terjepit di antara kedua belah pahanya yang mulus. Kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya dan kumasukkan ke dalam kemaluannya sambil kupermainkan di dalamnya. Aroma dan rasanya semakin memuncakkan nafsuku. Sekarang Rini terengah-engah dan kemudian menjerit tertahan meminta supaya aku segera memasukkan kemaluanku ke lubangnya.

Cepat-cepat kurengkuh kedua pahanya dan menariknya ke bibir meja, kutekuk lututnya dan kubuka pahanya lebar-lebar supaya aku dapat memasukkan kemaluanku sambil berjongkok. Perlahan-lahan kuarahkan senjataku menuju lubang milik Rini. Ketika kepala kemaluanku memasuki lubang itu, Rini mendesis, "Ssshh.., aahhk.., aduh enaknya..! Terus Mas, masukkan lagi akhh..!"

Dengan pasti kumasukkan lebih dalam sambil sesekali menarik sedikit dan mendorongnya lagi. Ada kenikmatan luar biasa yang kurasakan ketika aku melakukannya. Mungkin karena selama ini aku hanya melakukannya dengan isteriku, kali ini ada sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Tanganku sekarang sudah meremas payudara Rini dengan lembut sambil mengusapnya. Mulut Rini pun seperti megap-megap kenikmatan, segera kulumat bibir itu hingga Rini nyaris tidak dapat bernapas, kutindih dan kudekap sekuat-kuatnya hingga Rini berontak. Pelukanku semakin kuperketat, seolah-olah tidak akan lepas lagi. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh kami. Agus dan isteriku tidak kuperhatikan lagi. Yang kurasakan sekarang adalah sebuah petualangan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Pantatku masih naik turun di antara kedua paha Rini.

Luar biasa kemaluan Rini ini, seperti ada penyedot saja di dalamnya. Kemaluanku seolah tertarik ke dalam. Dinding-dindingnya seperti lingkaran magnet saja. Mata Rini merem melek menikmati permainan ini. Erangannya tidak pernah putus, sementara helaan napasnya memburu terengah-engah.Posisi sekarang berubah, Rini sekarang membungkuk menghadap meja sambil memegang kedua sisi meja yang tadi tempat dia berbaring, sementara saya dari belakangnya dengan berdiri memasukkan kemaluanku. Hal ini cukup sulit, karena selain ukuran kemaluanku lumayan besar, lubang kemaluan Rini juga semakin ketat karena membungkuk.

Kukangkangkan kaki Rini dengan cara melebarkan jarak antara kedua kakinya. Perlahan kucoba memasukkan senjataku. Kali ini berhasil, tapi Rini melenguh nyaring, perlahan-lahan kudorong kemaluanku sambil sesekali menariknya. Lubangnya terasa sempit sekali. Beberapa saat, tiba-tiba ada cairan milik Rini membasahi lubang dan kemaluanku hingga terasa nikmat sekarang. Kembali kudorong senjataku dan kutarik sedikit. Goyanganku semakin lincah, pantatku maju mundur beraturan. Sepertinya Rini pun menikmati gaya ini.

Buah dada Rini bergoyang-goyang juga maju-mundur mengikuti irama yang berasal dari pantatku. Kuremas buah dada itu, kulihat Rini sudah tidak kuasa menahan sesuatu yang tidak kumengerti apa itu. Erangannya semakin panjang. Kecepatan pun kutambah, goyangan pinggul Rini semakin kuat. Tubuhku terasa semakin panas. Ada sesuatu yang terdorong dari dalam yang tidak kuasa aku menahannya. Sepertinya menjalar menuju kemaluanku. Aku masih berusaha menahannya.

Segera aku mencabut kemaluanku dan membopong tubuh Rini ke tempat yang lebih luas dan menyuruh Rini telentang di bentangan karpet. Secepatnya aku menindihnya sambil menekuk kedua kakinya sampai kedua ujung lututnya menempel ke perut, sehingga kini tampak kemaluan Rini menyembul mendongak ke atas menantangku. Segera kumasukkan senjataku kembali ke dalam lubang kemaluan Rini.

Pantatku kembali naik turun berirama, tapi kali ini lebih kencang seperti akan mencapai finis saja. Suara yang terdengar dari mulut Rini semakin tidak karuan, seolah menikmati setiap sesuatu yang kulakukan padanya. Tiba-tiba Rini memelukku sekuat-kuatnya. Goyanganku pun semakin menjadi. Aku pun berteriak sejadinya, terasa ada sesuatu keluar dari kemaluanku. Rini menggigit leherku sekuat-kuatnya, segera kurebut bibirnya dan menggigitnya sekuatnya, Rini menjerit kesakitan sambil bergetar hebat.

Mulutku terasa asin, ternyata bibir Rini berdarah, tapi seolah kami tidak memperdulikannya, kami seolah terikat kuat dan berguling-guling di lantai. Di atas sofa Agus dan isteriku ternyata juga sudah mencapai puncaknya. 

Kulihat Resty tersenyum puas. Sementara Rini tidak mau melepaskan kemaluanku dari dalam kemaluannya, kedua ujung tumit kakinya masih menekan kedua pantatku. Tidak kusadari seluruh cairan yang keluar dari kemaluanku masuk ke liang milik Rini. Kulihat Rini tidak memperdulikannya. Perlahan-lahan otot-ototku mengendur, dan akhirnya kemaluanku terlepas dari kemaluan Rini. Rini tersenyum puas, walau kelelahan aku pun merasakan kenikmatan tiada tara. Resty juga tersenyum, hanya nampak malu-malu. Kemudian memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi.

Hingga saat ini peristiwa itu masih jelas dalam ingatanku. Agus dan Rini sekarang sudah pindah dan kembali ke Jakarta. Sesekali kami masih berhubungan lewat telepon. Mungkin aku tidak akan pernah melupakan peristiwa itu. Pernah suatu waktu Rini berkunjung ke rumah kami, kebetulan aku tidak ada di rumah. Dia hanya ketemu dengan isteriku. Seandainya saja..

Ngentot dengan anak Ibu kost

Kisah ini bermula ketika aku mencari tempat kost di daerah sekitar kampus. Setelah sekian lama berputar-putar, akhirnya sampailah aku di suatu rumah. Lokasinya enak, sejuk dan rindang. Dalam hati aku menjadikan rumah ini sebagai kost cadangan seandainya aku tidak mendapatkan tempat kost. Setelah ngobrol dengan ibu kost tentang masalah harga, datanglah anak ibu kost yang nomor 3, namanya Mbak Desi (itu kuketahui setelah aku kost di situ). Pertama melihat Mbak Desi aku langsung bergetar, gila cantik sekali.

Sempat terselip di benakku untuk berhubungan badan dengannya tapi perasaan itu langsung kusingkirkan sebab di depanku ada ibunya, jadi aku berpura-pura manis dan tersenyum pada Mbak Desi. Setelah sekian lama, akhirnya aku kost di situ. Dan hari-hariku kusempatkan mencuri perhatian ke Mbak Desi, tiap kali kupandangi dia makin kelihatan inner beauty-nya. Begitu cantik dan tidak bosan-bosan dipandang. Dan yang membuatku semangat untuk mengejarnya adalah dia juga memberi respon atas kerlingan-kerlingan mataku dan tingkahku. Walaupun dia sudah bersuami dan mempunyai anak satu, tapi keindahan tubuhnya masih kelihatan, ini terbayang dari baju tidur yang dia kenakan tiap pagi, tipis dan tembus pandang, jadi kalau Mbak Desi berjalan aku selalu ada saja acara untuk mengikutinya entah mandi, ke belakang atau entah apa saja yang dia lakukan.

Dan sesekali kalau rumah sedang sepi, aku berjalan di belakangnya sambil mengocok batang kemaluanku yang selalu tegang bila melihat dia sambil berimajinasi berhubungan badan dengan Mbak Desi. Ini kulakukan beberapa kali, sampai suatu saat ketika aku sedang mengocok batang kemaluanku, tiba-tiba Mbak Desi berbalik dan berkata, "Entar kalau udah keluar di lap ya..." tentu saja aku jadi belingsatan, tapi aku cepat menguasai situasi, dengan berterus terang sama Mbak Desi, "Entar Mbak, tanggung nich..." dan aku pun makin mempercepat kocokanku dengan harapan aku semprotkan di perut Mbak Desi, sebab waktu itu Mbak Desi berbalik dan berhadap-hadapan denganku.

Dan tanpa di sangka Mbak Desi membungkuk dan mengulum batang kemaluanku, tentu saja aku makin terangsang oleh sentuhan-sentuhan lidah Mbak Desi, tampak Mbak Desi mengulum dengan penuh nafsu diiringi oleh sedotan-sedotan dan gigitan kecilnya, sesaat kemudian kemaluanku mulai berdenyut dan makin menegang keras. "Terus Mbak... oh.. oh.. oh... enak Mbak..." bagaikan melayang di awan kepalaku mulai berkunang-kunang, dan Mbak Desi pun sepertinya tahu situasi saat itu, dia pun mulai mengocok dengan tangannya dengan irama cepat. "Ooh.. Mbak.. Mbak.. aku mau keluar Mbak... oh.. oh.. oh... sshh.. shh.. ah..." Crott... croott... keluarlah air maniku banyak sekali membasahi bibirnya berkilat-kilat diterpa sinar lampu dapur.

Dan tanpa pikir panjang aku langsung mengulum bibirnya yang masih dipenuhi spermaku, sambil aku bergerilya di sepanjang dadanya, yang kira-kira berukuran 36. Setelah beberapa saat dia mulai mengendurkan ciumannya dan berkata, "Sekarang bukan waktunya Dik..." Kejadian di dapur itu selalu teringat olehku dan selalu menjadi imajinasiku. Hari berikutnya aku makin sering menggoda dia, tanpa sepengetahuan suaminya. Suatu saat suaminya ada keperluan keluar kota, saat itulah yang kutunggu-tunggu untuk iseng mengajaknya jalan, dengan alasan ingin diantar ke Cihampelas membeli baju. Mbak Desi pun mau, jadilah aku keluar bersama dia. Di tengah perjalanan aku ngobrol dengannya, mengorek tentang rumah tangganya terutama masalah kehidupan seksualnya.

Ternyata dia saat itu sedang suntuk di rumah dan ingin main keluar, langsung saja kusambut kesempatan itu, kuajak dia main ke daerah pegunungan di Lembang. Di sana dingin sekali, dan aku mulai memberanikan diri memegang tangan dan pahanya. Sambil menggodanya, "Mbak dingin-dingin gini enaknya apa ya..." kataku. "Ee... apa ya..." katanya. "Kita sewa hotel aja yuuk.. Mbak Desi kedinginan nich..." katanya lagi. Sebuah permintaan yang membuatku deg-degan, langsung saja kubelokkan ke sebuah hotel yang kelas Rp 50.000-an, "Gimana Mbak, udah anget belum..." tanyaku di dalam kamar. "Anget gimana? tidak ada yang memeluk kok anget..." jawab dia. "Bener nich..." kataku. Langsung saja kudekati dia dan tanpa canggung lagi aku mulai mencium bibirnya, dan dia pun membalas, ternyata dia begitu mudah terangsang oleh ciumanku yang langsung kuteruskan dengan menjilati leher disertai dengan gigitan kecil.

Aku pun mulai bergerilya dengan menelusupkan tanganku di balik kaosnya. Busyet, dia tidak memakai BH di payudara yang berukuran 36B. Aku buka kaosnya dan tampaklah sebuah gundukan 36B dengan puting yang merah kecoklatan. Begitu bersih dan putih tubuhnya, kujilati leher dan pelan-pelan turun ke dadanya. Mbak Desi pun melengus perlahan sambil mengacak-acak rambutku. Hingga sampai saat aku melingkar-lingkarkan lidahku di seputar puting susunya, dia makin keras melenguh, hal itu makin membuat nafsuku memuncak, "Iseep... Dik... iseepp... terusss... aahh..." Kusedot putingnya dan saking memuncaknya nafsuku, kugigit putingnya, dia semakin menggila mendesah-desah tak karuan. Perlahan-lahan aku memasukkan tanganku di balik celana jeansnya.

Oh, begitu lembut bulu kemaluannya disertai dengan basahnya bibir kemaluannya. Kulepas baju dan celananya sampai keadaan telanjang bulat, begitu mulus tubuhnya, sejenak kupandangi tubuhnya dengan tertegun, lalu aku gantian melepas semua baju dan celanaku hingga kami berdua telanjang bulat tanpa selembar benang pun. Kugigit-gigit kecil dan jilati perutnya perlahan-lahan sambil terus turun ke arah pangkal pahanya, terus turun sampai ke telapak kaki kiri dan kanan. Kubalikkan badannya hingga dia tengkurap, lalu dari belakang leher kujilati perlahan-lahan sambil menggigit kecil dan turun, "Ohh... Diikk... terus Dikk... oh... oh... enak Diikk..." erangan Mbak Desi disertai dengan belaian usapan telapak tangan lembutnya.

Terus turun dari punggung ke arah pantat, sampai di pantat kugigit dia saking menahan nafsuku, dia pun meregang menjerit kecil. Lalu hingga tiba di daerah selangkangannya, kulihat kemaluannya merah dan basah berkilat-kilat oleh karena lendir birahi, pelan-pelan kujilati pinggiran kemaluannya dengan gerakan melingkar di pinggir kemaluannya. Aku pun mulai membuka bibir kemaluannya dengan kedua tanganku tampaklah klitorisnya yang sudah menegang berwarna merah. Perlahan-lahan kujilat klitorisnya pelan tapi pasti sambil kugerakkan naik turun sepanjang garis kemaluannya.

Mbak Desi pun makin mengerang, menghempaskan badannya ke kiri dan ke kanan sambil sesekali menjambak rambutku disertai teriakan kecil. Beberapa saat kemudian Mbak Desi mulai mengejang dan bergetar sambil meringis menahan sesuatu, "Ahh... ahh... Dik... aku keluuaar...." sambil menggigit bibirnya. Mbak Desi bangkit lalu mambalikkan badanku hingga aku pun terhempas telentang, dia mulai mencium bibirku, leher dan tibalah di daerah paling sensitifku, di kedua putingku, aku mulai mendesah ketika Mbak Desi menjilatinya, Mbak Desi tanggap akan hal itu, dia terus menjilatinya dan karena aku tidak tahan lagi kusuruh dia menggigitnya keras-keras. Aku pun blingsatan menahan nikmat tak terkira, makin keras gigitannya makin puas kurasakan.

Di tengah kenikmatan itu tiba-tiba ada sesuatu yang merasuk dan menancap di kemaluannku, gila rasanya mau meletup dan pecah kepala ini merasakan kenikmatan itu, ternyata Mbak Desi sambil mengigit putingku dia memasukkan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya. "Bless..." batang kemaluanku yang masih kering itu pun terbenam di belahan daging hangat dan basahnya. Aku sempat menggigit dada Mbak Desi karena kenikmatan itu. Perlahan-lahan Mbak Desi menggerakkan badannya naik turun, sedangkan aku hanya terpejam diam menikmati surga dunia itu, "Aah... ah... ah... gila kau Mbak... gila kamu... ah... Mbak pintar sekali... enak Mbak... oh... terus... ah... ah..." aku mengerang kenikmatan. Mbak Desi yang terus menggoyang badannya membungkuk lalu menjilati dan menggigit putingku, satu gaya yang bisa membunuhku dengan kenikmatan, aku pasrah pada situasi. "Bunuh aku dengan tubuhmu Mbak..." kataku, Mbak Desi hanya tersenyum simpul.

Mbak Desi tetap di atasku tapi posisi punggungnya membelakangiku, aku kurang sreg lalu kusuruh dia berbalik lagi, Mbak Desi berbalik lagi dan dia menyodorkan payudaranya ke arah mulutku, aku pun mulai menghisap dan mengulum sekuatku. Tiba-tiba tubuh Mbak Desi bergetar hebat sambil meremas kedua lenganku dan kadang-kadang mencakarku, dia keluar untuk kedua kalinya. Aku berhenti sebentar, supaya kondisi kemaluannya pulih kembali sebab dia sudah mencapai puncak orgasmenya. Aku ganti di atas, perlahan-lahan kuarahkan kemaluanku ke depan bibir kemaluannya, sengaja tidak kumasukkan dulu tapi kubuat main-main dulu dengan cara kuserempetkan ujung kepala kemaluanku ke klitorisnya, dia mulai mengerang lagi. Dengan perlahan kumasukkan batang kemaluanku ke lubang kenikmatannya yang sudah basah oleh

semprotan cairan Mbak Desi. "Bluess..." batang kemaluanku dengan gagahnya maju memasuki liang surga Mbak Desi. "Ooh... Dik... enak Dik... oh... terruus... Dik... ohh... oohh..." sambil tangannya meremas kedua putingku. Aku semakin mempercepat goyangan, setelah beberapa lama keringatku pun membasahi dada Mbak Desi, butir demi butir laknat pun jatuh seiring dengan bertambahnya argo dosaku, tubuh kami berdua berkeringat hingga kami pun bermandi peluh.

Justru hal itulah yang membuatku makin bernafsu. Sambil merem melek aku menikmati hal itu, hingga perutku mulai mengeras, otot perut mulai mengencang siap untuk meledakkan sesuatu, bergetar hebat. "Oh... Mbak aku mau keluar... Mbak... oh... aku mulai keluar Mbak... Keluarin di mana Mbak... dalem ya.. oh... oh..." aku mengerang kenikmatan. "Keluarin di dalam aja Dik, Mbak juga sudah mulai keluar kok... yah... yah... terus Dik... dipercepat... ya begitu... oh... oh terus Dik..." dengan menjerit Mbak Desi terlihat pasrah. "Ooh... Mbak... sekarang... Mbak... oh... ah... ahh... sshh... ah..." "Croot.. croott.. croooooott.. crett..." kusemburkan spermaku di dalam liang kemaluan Mbak Desi, begitu banyak spermaku sampai-sampai tertumpah di sprei.

Dosen dan mahasiswa

Saat itu adalah detik-detik menjelang Ujian Akhir Semester (UAS). Seperti biasanya, beberapa hari sebelum dimulainya UAS nama-nama mahasiswa yang tidak diperbolehkan ikut ujian karena berbagai sebab seperti over absen, telat pembayaran, dsb tertera di papan pengumuman di depan ruang TU fakultas. Hari itu diriku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar cekal salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula.

Diriku sangat bingung disana tertulis absenku sudah empat kali, melebihi batas maksimum tiga kali, apakah diriku salah menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat dengan jelas diriku hanya tiga kali absen di mata kuliah itu. Akupun complain masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu Pak Qadar, seorang dosen yang cukup senior di kampusku, beliau berumur pertengahan 40-an, berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek kalau dibanding denganku hanya sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak dan mengerti namun beliau agak cunihin, karena suka cari-cari kesempatan untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi yang cantik pada jam kuliahnya termasuk juga diriku pernah menjadi korban kecunihinannya. Karena sudah senior dan menjabat kepala jurusan, beliau diberi ruangan seluas 5×5 meter bersama dengan Bu Hany yang juga dosen senior merangkap wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang mahasiswa yang sedang bicara padanya pamitan. “Siang Pak !” sapaku dengan senyum dipaksa “Siang, ada perlu apa ?” “Ini Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal dicatatan saya cuma tiga…” demikian kujelaskan panjang lebar dan beliau mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya. Beberapa menit beliau meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar absen lalu kembali lagi dengan map absen di tangannya.

Ternyata setelah usut punya usut, diriku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya diriku juga lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasih diriku memelas padanya supaya ada keringanan atau keringanan. “Aduhh…tolong dong pak, soalnya gak ada yang memberitahu saya tentang yang tambahan itu, jadi saya juga gak tau pak, bukan salah saya semua doDiang pak” “Tapi kan dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu dong dulu” Beberapa saat diriku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya tetap harga mati, yaitu diriku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain diriku tidak lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum diriku pamit hanyalah “Ya sudah lah dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini supaya memacu anda lebih rajin di kemudian hari” dengan meletakkan tangannya di bahuku. Dengan lemas dan pucat diriku melangkah keluar dari situ dan hampir bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu.

Dalam perjalanan pulang dimobil pun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku mengklaksonku karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau. Hari itu diriku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang sekali diriku mengisapnya. Diriku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas untuk mata kuliah ini, juga nilai UTS ku 8,8, tapi semuanya sia-sia hanya karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal. Sambil tiduran diriku memindah-mindahkan chanel parabola dengan remote, hingga sampailah diriku pada chanel TV dari Taiwan yang kebetulan sedang menayangkan film semi. Terlintas di pikiranku sebuah cara gila, mengapa diriku tidak memanfaatkan sifat cunihinnya itu untuk menggodanya, diriku sendiri kan penggemar seks bebas. Cuma cara ini cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah diriku yang malu, tapi biarlah tidak ada salahnya mencoba, gagal ya gagal, begitu pikirku.

Diriku memikirkan rencana untuk menggodanya dam menetapkan waktunya, yaitu sore jam 5 lebih, biasanya jam itu kampus mulai sepi dan dosen-dosen lain sudah pulang. Diriku cuma berharap saat itu Bu Hany sudah pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda atau mungkin gagal. Keesokan harinya diriku mulai menjalankan rencanaku dengan berdebar-debar. Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan berwarna biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut, gilanya adalah dibalik semua itu diriku tidak memakai bra maupun celana dalam. Tegang juga rasanya baru pertama kalinya diriku keluar rumah tanpa pakaian dalam sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam diriku. Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan AC di mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet diriku baru tiba di kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya. Kampus sudah sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas sudah libur, kalaupun masuk paling cuma untuk pemantapan atau kuis saja. Diriku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua mahasiswa yang selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang biasa kualami karena diriku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya diriku tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu ada seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam, untungnya pakaianku tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak terjiplak.

Akupun sampai ke ruang beliau di sebelah lab. bahasa dan kulihat lampunya masih nyala. Kuharap Bu Hany sudah pulang kalau tidak sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih kencang saat kuketuk pintunya. “Masuk !” sahut suara dari dalam “Selamat sore Pak !” “Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih ?” katanya sambil memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku. “Itu…Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat saya” “Waduh…kan bapak udah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat opname atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang begitu, harap anda maklum” “Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak ?” “Maaf dik, bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini” “Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk bapak, saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak ?” “Penawaran…penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar segala” katanya dengan agak jengkel karena diriku terus ngotot.

Tanpa pikir panjang lagi diriku langsung menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini membuatnya salah tingkah. Selagi Pak Qadar masih terbengong-bengong kuraih tangannya dan kuletakkan di betisku. “Ayolah Pak, saya percaya bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran terakhir saya, masa bapak gak tertarik dengan yang satu ini” godaku sambil merundukkan badan ke arahnya sehingga Pak Qadar dapat melihat belahan payudaraku melalui leher bajuku yang agak rendah. “Dik…kamu-kamu ini….edan juga…” katanya terpatah-patah karena gugup Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah : “Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa” Beliau makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika diriku mulai melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan puting pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas pandangannya padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai merambat naik ke paha mulusku disertai sedikit remasan.

Kuturunkan kakiku yang tersilang dan kurenggangkan pahaku agar beliau lebih leluasa mengelus pahaku. Dengan setengah berdiri beliau meraih payudaraku dengan tangan yang satunya, setelah tangannya memenuhi payudaraku Pak Qadar meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku. “Dadamu bagus juga yah dik, kencang dan montok” pujinya Beliau lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan menyapu telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah lebih jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Beliau berhenti sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa “Ya ampun dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini !?” tanyanya terheran-heran dengan keberanianku “Iyah pak, khusus untuk bapak…makanya bapak harus tolong saya juga” Tiba-tiba dengan bernafsu Pak Qadar bentangkan lebar-lebar kedua pahaku dan menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya.

Matanya seperti mau copot memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang lebat. Sungguh tak pernah terbayang olehku diriku duduk diatas meja mekakangkan kaki di hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian lidah Pak Qadar mulai menjilati bibir kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku dengan satu jarinya mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke atas meremasi payudaraku. “Uhhh…!” diriku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil menggigit bibir bawah, tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan lidah beliau. Diriku mengerang pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha mulusku mengapit erat kepalanya seolah tidak menginginkannya lepas. Lidah itu bergerak semakin liar menyapu dinding-dinding kemaluanku, yang paling enak adalah ketika ujung lidahnya beradu dengan klitorisku, duhh…rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir keringat mulai keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.

Setelah membuat vaginaku basah kuyup, beliau berdiri dan melepaskan diri. Pak Qadar membuka celana panjang beserta celana dalamnya sehingga ‘burung’ yang daritadi sudah sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri dengan dengan tegak. Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati vaginaku “Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah ga sabar nih” “Eiit…bentar Pak, bapak kan belum ngerasain mulut saya nih, dijamin ketagihan deh” kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat perlahan disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi desahan pemiliknya setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka mulutku untuk memasukkan penis itu. Hhmm….hampir sedikit lagi masuk seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di tenggorokanku. Boleh juga penisnya untuk seusia beliau, walaupun tidak seperkasa orang-orang kasar yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi sedikit urat, bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut. Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar mengitari kepala penisnya. Sesekali diriku melirik ke atas melihat ekspresi wajah beliau menikmati seponganku.

Berdasarkan pengalaman, sudah banyak cowok kelabakan dengan oral sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak karuan bila lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun termasuk diantaranya. Beliau mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya yang sudah bercucuran keringat dengan sapu tangan. Namun ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu diketuk sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali celananya dan meneguk air dari gelasnya. Diriku disuruhnya sembunyi di bawah meja kerjanya. “Ya…ya…sebentar tanggung ini hampir selesai” sahutnya membalas suara ketukan Dari bawah meja diriku mendengar beliau sudah membuka pintu dan berbicara dengan seseorang yang diriku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan berpesan agar jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak pekerjaan, lalu pintu ditutup. “Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum ?” tanyaku setelah keluar dari kolong meja “Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik” Lalu dengan cueknya diriku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka hingga telanjang bulat di hadapannya.

Diriku berjalan ke arahnya yang sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di lehernya dan memeluknya. Dari tubuhnya tercium aroma khas parfum om-om. Beliau yang memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu diriku mengenakan sepatu yang solnya tinggi. Kudorong kepalanya diantara kedua gunungku, beliau pasti keenakan kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba diriku meringis dan mendesis karena diriku merasakan gigitan pada puting kananku, beliau dengan gemasnya menggigit dan mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu dan meninggalkan jejak disekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku menurun hingga mencengkram pantatku yang bulat dan padat. “Hhmm…sempurna sekali tubuhmu ini dik, pasti rajin dirawat ya” pujinya sambil meremas pantatku. Diriku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali wajahnya ke payudaraku yang sebelah, beliaupun melanjutkan menyusu dari situ. Kali ini Pak Qadar menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai respon diriku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC, keringatku tetap menetes-netes.

Mulutnya kini merambat naik menjilati leher jenjangku, beliau juga mengulum leherku dan mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya. Cupangannya cukup keras sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa hari. Akhirnya mulutnya bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling beradu dengan liar. Lucunya karena Pak Qadar lebih pendek, diriku harus sedikit menunduk untuk bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan diri dari ciuman. “Masukin aja sekarang yah Pak…saya udah gak tahan nih” pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya. Namun belum sempat diriku mengeluarkan penisnya, Pak Qadar sudah terlebih dulu mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, Pak Qadar masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan diatas meja kerjanya. Pak Qadar berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku. Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya. Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga tertanam seluruhnya. “Ooohhh….!” desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar. “Sakit dik ?” tanyanya Diriku hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang semakin memuncak.

Diriku tidak bisa tidak mendesah setiap kali beliau menggenjotku, tapi diriku juga harus menjaga volume suaraku agar tidak terdengar sampai luar, untuk itu kadang diriku harus menggigit bibir atau jari. Beliau semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku. Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan beliau yang langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan serta memilin-milin putingnya. Tak lama kemudian diriku merasa dunia makin berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, diriku mendesah panjang dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap kali beliau menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas kembali dan tergeletak di mejanya diantara tumpukan arsip-arsip dan alat tulis. Diriku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena beliau yang masih bertenaga melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini pantatku pun menungging ke arahnya.

Sambil meremas pantatku Pak Qadar mendorongkan penisnya itu ke vaginaku. “Uuhh…nggghhh…!” desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku. Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam, badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, dengusan nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. Sebisa mungkin diriku menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap saja sesekali diriku menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap dan mataku menatap dengan pandangan kosong pada foto beliau dengan istrinya yang dipajang di sana. Beberapa menit kemudian Pak Qadar menarik tubuh kami mundur beberapa langkah sehingga payudaraku yang tadinya menempel dimeja kini menggantung bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Pak Qadar menjatuhkan pantatnya disana, namun Pak Qadar mencegahku ketika diriku mau duduk, disuruhnya diriku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di depan wajahnya. “Bentar yah Dik, bapak bersihin dulu punyamu ini” katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku. “Sslluurrpp….sshhrrp” dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu.

Diriku mendesis dan meremas rambutnya sebagai respon atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama sepuluh menitan , setelah puas diriku disuruhnya naik ke pangkuannya dengan posisi berhadapan. Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah rasanya pas kutekan badanku ke bawah sehingga penis beliau tertancap pada vaginaku. Sedikit demi sedikit diriku merasakan ruang vaginaku terisi dan dengan beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku. 20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang mencuat di depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan leherku. Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat di selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku kembali mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya dan daerah selangkangan kami. Semakin lama goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal beliau saja yang masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di pangkuannya. Belakangan beliau melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya dengan mulut saja. Diriku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang masih hangat. Diriku membuka mulut dan mengulumnya. Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih cepat.

Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi mulutku, rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang familiar denganku. Inilah saatnya menjajal teknik menyepongku, diriku berkonsentrasi menelan dan mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang setetespun. Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun menjilatinya sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali. Pak Qadar bersandar pada sofa dengan nafas terengah-engah dan mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali memakai pakaian masing-masing. Pak Qadar memuji permainanku dan berjanji berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya diriku besok datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar keputusannya. Ternyata ketika besoknya diriku datang lagi keputusannya masih belum kuterima, malahan diriku kembali digarapnya.

Rupanya Pak Qadar masih belum puas dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang kebetulan tanggal merah diriku diajaknya ke sebuah hotel melati di daerah Tangerang. Disana diriku digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore, bahkan sempat diriku dibuat pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk seusianya walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub Pak Qadar memberitahukan bahwa diriku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian. “Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, bapak sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin” katanya sambil memencet putingku “Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya ga mau perjuangan saya selama ini sia-sia” jawabku dengan tersenyum kecil Akhirnya akupun lulus dalam mata kuliah itu walaupun dengan nilai B karena UAS-nya lumayan sulit, lumayanlah daripada tidak lulus. Dan dari sini pula diriku belajar bahwa terkadang perjuangan itu perlu pengorbanan apa saja.

Cucu Ibu kost ku

Perkenalkan pembaca namaku Ryan, umurku 22 tahun dan aku sekarang sedang menyelesaikan kuliah di sebuah PTS di Yogyakarta. Pengalaman nyata cerita sex ini terjadi tiga tahun yang lalu ketika aku masih kuliah di Bandung. Sudah lama memang, tapi aku selalu ingat akan kejadian itu dan tak akan pernah aku melupakan satu nama : Cindy. Walau hingga sekarang pun akan selalu kukenang saat-saat indah bersamanya.

Aku akrab dengan Cindy karena ia adalah cucu dari ibu kostku. Cindy lebih tua 2 tahun dan dia anak Surabaya, sedang kuliah di Bandung hanya beda kampus denganku. Yang aku tahu, kedua orangtuanya sudah pisah ranjang selama dua tahun (tapi tidak bercerai) dan Cindy ikut tinggal bersama neneknya (ibu kostku) ketika ia masuk kuliah. Mungkin terlalu panjang kalo kuceritakan bagaimana prosesnya hingga kami berpacaran. Aku beruntung punya cewek seperti dia yang wajahnya sangat cantik (pernah dia ditawarin untuk menjadi model), segala yang diidamkan pria melekat pada dia. Kulitnya yang putih, hidung bangir, matanya yang indah dan bening, rambut ikal serta tubuhnya yang padat.. Aku juga nggak tahu kenapa ibu kost menerimaku untuk nge-kost dirumahnya padahal yang kost di rumahnya adalah cewek semua. Mungkin karena ngeliat tampangku seperti orang baik-baik kali ya (hehehe)…

Pada awal kami berpacaran , Cindy termasuk pelit untuk urusan mesra-mesraan. Jangankan untuk berciuman, minta pegang tangannya saja susahnya minta ampun! Padahal aku termasuk orang yang hypersex, dan aku sering kali melakukan onani untuk melampiaskan nafsu seksku, hingga sekarang. Aku bisa melakukan onani sampai tiga kali sehari. Setiap kali fantasi dan gairah seksku datang, pasti kulakukan kebiasaan jelekku itu. Entah dikamar mandi menggunakan sabun, sambil nonton VCD porno dan seringnya sambil tiduran telungkup di atas kasur sambil kugesek-gesekkan penisku. Aku merasakan nikmat setiap orgasme onani. Back to story, sejak aku dan Cindy resmi jadian, baru dua minggu kemudian dia mau kucium pipinya. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya ia mau juga kucium pipinya yang mulus itu, dan aku selalu ingin merasakan dan mengecup lagi sejak saat itu.

Hingga pada suatu malam, ketika waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, aku, Cindy dan Desi (anak kost yang lain) masih asyik menonton TV di ruang tengah. Sementara ibu kostku serta 3 anak kost yang lain sudah pergi tidur. Kami bertiga duduk diatas permadani yang terhampar di ruang tengah. Desi duduk di depan sementara aku dan Cindy duduk agak jauh dibelakangnya. Lampu neon yang menyinari ruangan selalu kami matikan kalau sedang menonton TV. Biar tidak silau kena mata maksudnya. Atau mungkin juga demi menghemat listrik. Yang jelas, cahaya dari TV agak begitu samar dan remang-remang. Desi masih asyik menonton dan Cindy yang disampingku saat itu hanya mengenakan kaos ketat dan rok mini matanya masih konsen menonton film tersebut. Sesekali saat pandangan Desi tertuju pada TV, tanganku iseng-iseng memeluk pinggang Cindy. Entah Cindy terlalu memperhatikan film hingga tangannya tidak menepis saat tanganku memeluk tubuhnya yang padat. Dia malah memegang rambutku, dan membiarkan kepalaku bersandar di pundaknya. Terkadang kalo pas iklan, Cindy pura-pura menepiskan tanganku agar perbuatanku tidak dilihat Desi. Dan saat film diputar lagi, kulingkarkan tanganku kembali.

“I love you, honey….” Bisikku di telinganya.
Cindy menoleh ke arahku dan tanpa sepengetahuan Desi, ia mendaratkan ciumannya ke pipiku. Oh my God, baru pertama kali aku dicium seorang cewek, tanpa aku minta pula. Situasi seperti ini tiba-tiba membuat pikiranku jadi ngeres apalagi saat Cindy meremas tanganku yang saat itu masih melingkar di pinggangnya, dan matanya yang sayu sekilas menoleh ke arah Desi yang masih nongkrong di depan TV. Aman, pikirku.Apalagi ditambah ruangan yang hanya mengandalkan dari cahaya Tv, maka sesekali tanganku meremas payudara Cindy. Cindy menggelinjang, sesekali menahan nafas. Lutut kanannya ditekuk, hingga saat tangan kiriku masuk ke dalam daster bagian bawah yang agak terbuka dari tadi, sama sekali tidak diketahui Desi. Mungkin ia konsen dengan film, atau mungkin juga ia sudah ngantuk karena kulihat dari tadi sesekali ia mengangguk seperti orang ketiduran.

Ciumanku kini sedikit menggelora, menelusuri leher Cindy yang putih mulus sementara tangan kiriku menggesek-gesekkan perlahan vagina Cindy yang masih terbungkus celana dalam. Ia mendesah dan mukanya mendongak ke atas saat kurasakan celana dalamnya mulai basah dan hangat. Mungkin ia merasakan kenikmatan, pikirku.Tanganku yang mulai basah oleh cairan vagina Cindy buru-buru kutarik dari dalam roknya, ketika tiba-tiba Desi bangkit dan melihat ke arah kami berdua. Kami bersikap seolah sedang konsen nonton juga.
“Aku ngantuk. Tidur duluan ya….. nih remote-nya!” ujar Desi sambil menyerahkan remote TV pada Cindy.
Desi kemudian masuk ke kamarnya dan mengunci pintu dari dalam. Aku yang tadi agak gugup, bersorak girang ketika Desi hanya pamitan mau tidur. Aku pikir dia setidaknya mengetahui perbuatanku dengan Cindy. Bisa mati aku. Cindy yang sejak tadi diam (mungkin karena gugup juga) matanya kini tertuju pada TV. Aku tahu dia juga pura-pura nonton, maka saat tubuhnya kupeluk dan bibirnya kucium dia malah membalas ciumanku.
“Kita jangan disini Say, nanti ketahuan….” Bisiknya diantara ciuman yang menggelora.
Segera kubimbing tangan Cindy bangkit, setelah mematikan TV dan mengunci kamar Cindy, kuajak dia ke kamar sebelah yang kosong. Disini tempatnya aman karena setiap yang akan masuk ke kamar ini harus lewat pintu belakang atau depan. Jalan kami berjingkat supaya orang lain yang telah tertidur tidak mendengar langkah-langkah kami atau ketika kami membuka dan menutup kunci dan pintu kamar tengah dengan perlahan.

Setelah kukunci dari dalam dan kunyalakan lampu kamar kuhampiri Cindy yang telah duduk di tepi ranjang.
“Aku cinta kamu, Cindy…..” ujarku ketika aku telah duduk disampingnya.
Mata Cindy menatapku lekat.. Sejenak kulumat bibirnya perlahan dan Cindy pun membalas membuat lidah kami saling beradu. Nafas kami kembali makin memburu menahan rangsangan yang kian menggelora. Desahan bibirnya yang tipis makin mengundang birahi dan nafsuku. Kuturunkan ciumanku ke lehernya dan tangannya menarik rambutku. Nafasnya mendesah. Aku tahu dia sudah terangsang, lalu kulepaskan kaosnya. Payudaranya yang padat berisi ditutupi BH berwarna merah tua. Betapa putih kulitnya, mulus tak ada cacat. Kemudian bibir kami pun berciuman kembali sementara tanganku sibuk melepaskan tali pengikat BH, dan sesaat kemudian kedua payudaranya yang telah mengeras itu kini tanpa ditutupi kain sehelai pun.

Kuusap kedua putingnya, dan Cindy pun tersenyum manja.
“Ayo Yan, lakukanlah….” Ujarnya.
Tak kusia-siakan kesempatan ini, dan mulai kujilati payudaranya bergantian. Sementara tangan Cindy membantu tanganku melepaskan kemeja yang masih kukenakan. Kukecup putingnya hingga dadanya basah mengkilap. Betapa beruntungnya aku bisa menikmati semua yang ada ditubuhnya. Tangan kananku yang nakal mulai merambah turun masuk ke dalam roknya, dan kugesek-gesekkan pelan di bibir vaginanya. Cindy menggelinjang menahan nikmat, sesekali tangannya juga ikut digesek-gesekkan kesekitar vaginanya sendiri.

Bibirnya mendesah menahan kenikmatan. Matanya terpejam, Sebentar kemudian vaginanya mulai sedit basah. Dan kami pun mulai melepaskan celana kami masing-masing hingga tubuh kami benar-benar polos. Betapa indahnya tubuh Cindy, apalagi ketika kulihat vaginanya yang terselip diantara kedua selangkangannya yang putih mulus.
“Wah.. punyamu oke Cindy, Ok’s banget…” ujarku terpana
Begitu mulus memang,ditambah dengan bulu-bulu lebat disekitar bagian sensitifnya.
“Burungmu juga besar dan bertenaga. Aku suka Yan….” Balasnya sambil tangannya mencubit pelan kemaluanku yang sudah tegak dari tadi.
“Come on Honey….” Pintanya menggoda.

Aku tahu Cindy sudah begitu terangsang maka kemudian kusuruh Cindy berbaring di atas kasur. Dan aku baringkan tubuhku terbalik, kepalaku berada di kakinya dan sebaliknya(posisi 69). Kucium ujung kakinya pelan dan kemudian ciumanku menuju hutan lebat yang ada diantara kedua selangkangannya. Kukecup pelan bibir vaginanya yang sudah basah, kujilat klitorisnya sementara mulut Cindy sibuk mengocok-ngocok kemaluanku. Bibir vaginanya yang merah itu kulumat habis tak tersisa. Ehm, betapa nikmatnya punyamu Cindy, pikirku. Ciumanku terus menikmati klitoris Cindy, hingga sekitar vaginanya makin basah oleh cairan yang keluar dari vaginanya.

Kedua jari tanganku aku coba masukkan lubang vaginanya dan kurasakan nafas Cindy mendesah pelan ketika jariku kutekan keluar masuk.
“Ahh… nikmat Yannn…ahhhh…” erangnya.
Kugesek-gesekkan kedua jariku diantara bibir klitorisnya dan Cindy makin menahan nikmat. Selang 5 menit kemudian kuhentikan gesekkan tanganku, dan kulihat Cindy sedikit kecewa ketika aku menghentikan permainan jariku.
“Jangan sedih Say, aku masih punya permainan yang menarik, okay?”
“Oke. Sekarang aku yang mengatur permainan ya?” ujarnya.
Aku mengangguk.Jujur saja, aku lebih suka kalau cewek yang agresif.Cindy pun bangkit, dan sementara tubuhku masih terbaring di atas kasur.
“Aku di atas, kamu dibawah, okay? Tapi kamu jangan nusuk dulu ya Say?”
Tanpa menunggu jawabanku tubuh Cindy menindih tubuhku dan tangan kanannnya membimbing penisku yang telah berdiri tegak sejak tadi dan blessss…….ah,Cindy merasa bahagia saat seluruh penisku menembus vaginanya dan terus masuk dan masuk menuju lubang kenikmatan yang paling dalam. Dia mengoyang-goyangkan pantatnya dan sesekali gerakannya memutar, bergerak mundur maju membuat penisku yang tertanam bergerak bebas menikmati ruang dalam “gua”-nya.

Cindy mendesah setiap kali pantatnya turun naik, merasakan peraduan dua senjata yang telah terbenam di dalam surga.Tanganku meremas kedua payudara Cindy yang tadi terus menggelayut manja. Rambutnya dibiarkan tergerai diterpa angin dingin yang terselip diantara kehangatan malam yang kami rasakan saat ini. Kubiarkan Cindy terus menikmati permainan ini. Saat dia asyik dengan permainannya kulingkarkan tanganku dipinggangnya dan kuangkat badanku yang terbaring sejak tadi kemudian lidah kami pun beradu kembali.
“Andainya kita terus bersama seperti ini, betapa bahagianya hidupku ini Cindy ” bisikku pelan
“Aku juga, dan ku berharap kita selalu bersama selamanya..”

Sepuluh menit berlalu, kulihat gesekan pinggang Cindy mulai lemah. Aku tahu kalau dia mulai kecapekan dan aku yang mengambil inisiatif serangan. Kutekan naik turun pinggangku, sementara Cindy tetap bertahan diam. Dan suara cep-clep-clep… setiap kali penisku keluar masuk vaginanya.
“Ahh terusss Yannnnn….terusss…nikmattttt…ahh…ahhhh….” hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Cindy, dan aku pun makin menggencarkan seranganku.
Ingin kulibas habis semua yang ada dalam vaginanya. Suara ranjang berderit, menambah hot permainan yang sedang kami lakukan. Kutarik tubuh Cindy tanpa melepaskan penisku yang sedang berlabuh dalam vaginanya dan kusuruh dia berdiri agar kami melakukan gerakan sex sambil berdiri.
“Kamu punya banyak style ya say?” katanya menggoda.
“Iya dong, demi kepuasan kamu juga” jawabku sambil mulai menggesek-gesekan pebisku kembali.
“Ahh teruss…terusss……” desah Cindy ketika penisku berulang kali menerobos vaginanya.

Kupeluk tubuh Cindy erat sementara jari tangan kirinya membelai lembut bulu-bulu vaginanya, dan sesekali membantu penisku masuk kembali setiap kali terlepas. Keringat membasahi tubuh kami. Lehernya yang mulus kucium pelan, sementara nafas kami mulai berdegup kencang.
“Yan, keteteran nih, mau klimaks. Jangan curang dong….”
“Oke, tahan dulu Cindy” dan kucabut batang penisku yang telah basah sejak tadi.
Kusuruh Cindy nungging di ranjang, sementara tanganku mengarahkan penisku yang telah siap masuk kembali. Dan kumasukkan sedikit demi sedikit hingga penisku ambles semua ke dalam surga yang nikmat.
“Ah…tekan Yan…enaaaakkkkk…terusssss Yannn….” Erangnya manja setiap kali penisku menari-nari di dalam vaginanya.
Tanganku memegang pinggangnya agar gerakanku teratur dan penisku tidak terlepas,.
“Ohh…nikmat sekali Yan….teruss….terusss……” desahnya.
Betapa nikmatnya saat-saat seperti ini…dan terus kuulang sementara mulut kami mendesah merasakan kenikmatan yang teramat sangat setiap kali penisku mempermaikan vaginanya.
“Yan….aku mo keluar nih…..udah ngga tahan….ahhh….ahhhh….” ujar Cindy tiba-tiba.
“Tahan Cin, aku juga hampir sampai….” aku menekan-nekan penisku kian cepat,sehingga suara ranjang ikut berderit cepat.
Dan kurasakan otot-otot penisku mengejang keras dan cairan spermaku berkumpul dalam satu titik.

“Aku keluar sekarang Cin….” penisku kucabut dari lubang vaginanya dan Cindypun seketika membalikkan badan dan menjulurkan lidahnya, mengocok-ngocok batang penisku yang kemerahan dan saat kurasakan aku tak mampu menahan lagi kutaruh penisku diantara kedua belah payudaranya dan kedua tangan Cindy pun menggesek-gesekkan payudaranya yang menjepit batang kemaluanku dan….croott…crooottt… spermaku jatuh disekitar dada dan lehernya Sebagian tumpah diatas sprei. Cindy menjilati penisku membersihkan sisa-sisa spermaku yang masih ada.
“Kamu ternyata kuat juga Say, aku hampir tak berdaya dihadapanmu” kubelai rambut Cindy yang sudak acak-acakan tak karuan.
“Aku juga ngga nyangka kamu sehebat ini Yan….”desahnya manja .

Waktu sudah menunjukkan setengah satu malam Dan setelah kami istirahat sekitar lima belas menit, kami memakai pakaian kami kembali dan membereskan tempat tidur yang sudah berantakan. Dan tak lama kemudian kami pun pergi tidur dikamar masing-masing melepaskan rasa lelah setelah kami ‘bermain” tadi.

Begitulah kisahku dengan Cindy, setiap hari kami selalu melakukannya setiap kali kami ingin dan ada kesempatan. Kami melakukannya di kamar sebelah kalau malam hari, kamar kostku, atau bahkan dikamar mandi (sambi mandi bareng disaat rumah kost kosong hanya ada kami berdua).

Hingga pada suatu hari Cindy harus pindah ke luar kota ikut kedua orang tuanya yang telah berbaikan lagi. Aku benar-benar kehilangan dia, dan ingin kuterus bersamanya. Pernah beberapa kali kususul ke tempatnya yang baru dan kami melakukannya berkali-kali di hotel tempat kami menginap. Tanggal 27 November 1998, tiba-tiba kuterima surat dari Cindy yang mengabarkan bahwa ia akan menikah dengan orang yang dipilihkan orang tuanya dan aku benar-benar kehilangan dia….. Sekarang, setiap kali aku melakukan masturbasi, fantasiku selalu melayang mengingat saat-saat terindah kami melakukan hubungan seks pertama kali dikamar sebelah itu. Ingin rasanya aku ulangi saat-saat indah itu. Ini adalah cerita nafsu seks antara aku dan Cindy.

Pak RT dan Gadis warganya

Pak Yatno namanya, dia merupakan ketua RT di daerah tempat diriku tinggal. Pak Yatno seringkali berkunjung ke rumahku untuk kepentingan menagih iuran daerah dan biaya air PDAM. Pak Yatno merupakan seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahunan dan telah memiliki dua orang istri. Benar kata orang bahwa Pak Yatno ini seorang bandot tua, buktinya sewaktu di rumahku kalau diriku lewat di depannya, seringkali matanya jelalatan menatap padaku seolah-olah matanya tembus pandang ke balik pakaianku. Bagiku sih tidak apa-apa, diriku malah senang kalau tubuhku dikagumi laki-laki, terkadang diriku memakai baju rumah yang sexy kalau lewat di depannya. Diriku yakin di dalam pikirannya pasti penuh hal-hal yang jorok tentangku.

Pada suatu hari diriku sedang di rumah sendirian. Diriku sedang melakukan fitness untuk menjaga bentuk dan stamina tubuhku di ruang belakang rumahku yang tersedia beberapa peralatan fitness. Diriku memakai pakaian yang enak dipakai dan menyerap keringat berupa sebuah kaus hitam tanpa lengan dengan belahan dada rendah sehingga buah payudaraku yang montok itu agak tersembul keluar terutama kalau sedang menunduk apalagi diriku tidak memakai BH, juga sebuah celana pendek ketat merk ‘Nike’ yang mencetak pantatku yang padat berisi. Waktu diriku sedang melatih pahaku dengan sepeda fitness, tiba-tiba terdengar bel berbunyi, segera saja kuambil handuk kecil dan mengelap keringatku sambil berjalan ke arah pintu. Kulihat dari jendela, ternyata Pak Yatno yang datang, pasti Pak Yatno mau menagih biaya ledeng, yang dititipkan ayah padaku tadi pagi.

Kubukakan pagar dan kupersilakan Pak Yatno masuk.
“Silakan Pak duduk dulu ya, sambil nunggu saya ambil uangnya” senyumku dengan ramah sambil mempersilakannya duduk di ruang tengah.
“Kok sepi sekali Dik, kemana yang lain?”
“Papa hari ini pulangnya malam, tapi uangnya udah dititip ke saya kok, Mama juga lagi arisan sama teman-temannya”.

Seperti biasa matanya selalu saja menatapi tubuhku, terutama bagian payudaraku yang agak terlihat itu. Diriku juga sadar kalau payudaraku sempat diintip olehnya waktu menunduk untuk menaruh segelas teh untuknya.

“Minum Pak”, tawarku lalu diriku duduk di depannya dengan menyilangkan kaki kananku sehingga pahaku yang jenjang dan putih itu makin terlihat.
Nuansa mesum mulai terasa di ruang tamuku yang nyaman itu. Pak Yatno menanyaiku sekitar masalah anak muda, seperti kuliah, hoby, keluarga, dan lain-lain, tapi matanya terus menelanjangiku.
“Dik Citra lagi olah raga yah, soalnya badannya keringatan gitu terus mukanya merah lagi” katanya.
“Iya nih Pak, biasa kan cewek kan harus jaga badan lah, cuma sekarang jadi pegel banget nih, pengen dipijat rasanya, Bapak bisa bantu pijitin nggak?” godaku sambil mengurut-ngurut pahaku.
Tanpa diminta lagi Pak Yatno segera bangkit berdiri dan pindah ke sebelahku, waktu berdiri kuperhatikan Pak Yatno melihat putingku yang menonjol dari balik kausku, juga kulihat kontolnya ngaceng berat membuatku tidak sabar mengenggam benda itu.

“Mari Dik, kesinikan kakinya biar Bapak pijat”
Diriku lalu mengubah posisi dudukku menjadi menyamping dan menjulurkan kakiku ke arahnya. Pak Yatno mulai mengurut paha hingga betisku. Uuuhh.. pijatannya benar-benar enak, telapak tangannya yang kasar itu membelai pahaku yang putih mulus hingga membangkitkan birahiku. Akupun mendesah-desah sambil menggigit bibir bawahku.

“Pijatan Bapak enak ya Dik?” tanyanya.
“Iya Pak, terus dong.. enak nih.. emmhh!” diriku terus mendesah membangkitkan nafsu Pak Yatno, desahanku kadang kusertai dengan geliat tubuh.

Pak Yatno semakin berani mengelus paha dalamku, bahkan menyentuh pangkal pahaku dan meremasnya.
“Enngghh.. Pak!” desahku lebih kuat lagi sewaktu kurasakan jari-jarinya mengelusi bagian itu.

Tubuhku makin menggelinjang sehingga nafsu Pak Yatno pun semakin naik dan tidak terbendung lagi. Celana sportku diperosotkannya beserta celana dalamku.

“Aawww..!” diriku berlagak kaget sambil menutupi kemaluanku dengan telapak tanganku.

Melihat reaksiku yang malu-malu kucing ini Pak Yatno makin gemas saja, ditariknya celanaku yang sudah tertarik hingga lutut itu lalu dilemparnya ke belakang, tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya sehingga kemaluanku yang berambut lebat itu tampak olehnya, klitorisku yang merah merekah dan sudah becek siap dimasuki. Pak Yatno tertegun beberapa saat memandangiku yang sudah bugil bagian bawahnya itu.
“Kamu memang sempurna Dik Citra, dari dulu Bapak sering membayangkan ngentotin kamu, akhirnya hari ini kesampaian juga”, rayunya

Pak Yatno mulai melepas kemejanya sehingga diriku dapat melihat perutnya yang berlemak dan dadanya yang berbulu itu. Lalu Pak Yatno membuka sabuk dan celananya sehingga benda dibaliknya kini dapat mengacung dengan gagah dan tegak. Diriku menatap takjub pada organ tubuh itu, begitu besar dan berurat diriku sudah tidak sabar lagi menggenggam dan mengulumnya. Pak Yatno begitu membuka pahaku lalu membenamkan kepalanya di situ sehingga selangkanganku tepat menghadap ke mukanya.
“Hhmm.. wangi, pasti Adik rajin merawat diri yah” godanya waktu menghirup kemaluanku yang kurawat dengan apik dengan sabun pembersih wanita.

Sesaat kemudian kurasakan benda yang lunak dan basah menggelitik memekku, oohh.. lidahnya menjilati klitorisku, terkadang menyeruak ke dalam menjilati dinding kemaluanku. Lidah tebal dan kumisnya itu terasa menggelitik bagiku, diriku benar-benar merasa geli di sana sehingga mendesah tak tertahan sambil meremasi rambutnya. Kedua tangannya menyusup ke bawah bajuku dan mulai meremas buah payudaraku, jari-jarinya yang besar bermain dengan liar disana, memencet putingku dan memelintirnya hingga benda itu terasa makin mengeras.

“Pak.. oohh.. saya juga mau.. Pak!” desahku tak tahan lagi ingin mengulum kontol itu.
“Kalau begitu Bapak di bawah saja ya Dik” katanya sambil mengatur posisi kami sedemikian rupa menjadi gaya 69.

Diriku naik ke wajahnya dan membungkukkan tubuhku, kuraih benda kesukaanku itu, dalam genggamanku kukocok perlahan sambil menjilatinya. Kugerakkan lidahku menelusuri pelosok batang itu, buah pelirnya kuemut sejenak, lalu jilatanku naik lagi ke ujungnya dimana diriku mulai membuka mulut siap menelannya. Oohh.. batang itu begitu gemuk dan berdiameter lebar persis seperti tubuh pemiliknya, sehingga akupun harus membuka mulutku selebar-lebarnya agar bisa mamasukkannya.

Diriku mulai mengisapnya dan memijati buah pelirnya dengan tanganku. Pak Yatno mendesah-desah enak menikmati permainanku, sementara diriku juga merasa geli di bawah sana, kurasakan ada gerakan memutar-mutar di dalam liang memekku oleh jarinya, jari-jari lain dari tangan yang sama mengelus-elus klitoris dan bibir memekku, bukan itu saja, lidahnya juga turut menjilati baik anus maupun memekku. Sungguh suatu sensasi yang hebat sekali sampai pinggulku turut bergoyang menikmatinya, juga semakin bersemangat mengulum kontolnya. Selama 10 menitan kami menikmatinya sampai ada sedikit terganggu oleh berbunyinya HP Pak Yatno. Diriku lepaskan kontolnya dari mulutku dan menatap padanya.

Pak Yatno menyuruhku mengambil HP-nya di atas meja ruang tamu, lalu Pak Yatno berkata, “Ayo Dik, terusin dong karaokenya, biar Bapak ngomong dulu di telepon”.
Diriku pun tanpa ragu-ragu menelan kembali kontolnya. Pak Yatno bicara di HP sambil kontolnya dikulum olehku, tidak tau deh bicara dengan siapa, emang gua pikirin, yang pasti diriku harus berusaha tidak mengeluarkan suara-suara aneh. Tangan satunya yang tidak memegang HP terus bekerja di selangkanganku, kadang mencucuk-cucukkannya ke memek dan anusku, kadang meremas bongkahan pantatku. Tiba-tiba Pak Yatno menggeram sambil menepuk-nepuk pantatku, sepertinya menyuruhku berhenti, tapi karena sudah tanggung diriku malahan makin hebat mengocok dan mengisap kontol itu sampai Pak Yatno susah payah menahan geraman nikmatnya karena masih harus terus melayani pembicaraan. Akhirnya muncratlah cairan putih itu di mulutku yang langsung saya minum seperti kehausan, cairan yang menempel di kontolnya juga saya jilati sampai tak bersisa.

“Nggak kok.. tidak apa-apa.. cuma tenggorokkan saya ada masalah dikit” katanya di HP.
Tak lama kemudian Pak Yatno pun menutup HP nya, lalu bangkit duduk dan menaikkanku ke pangkuannya, tangan kirinya dipakai menopang tubuhku.

“Wah.. Dik Citra ini bandel juga ya, tadi kan Bapak udah suruh stop dulu, ee.. malah dibikin keluar lagi, untung nggak curiga tuh orang” katanya sambil mencubit putingku.
“Hehehe.. sori deh Pak, kan tadi tanggung makannya saya terusin aja, tapi Bapak seneng kan” kataku dengan tersenyum nakal.
“Hmm.. kalo gitu awas ya sekarang Bapak balas bikin kamu keluar nih” seringainya.
Lalu dengan sigap tangannya bergerak menyelinap diantara kedua pangkal pahaku. Jari tengah dan telunjuknya menyeruak dan mengorek-ngorek memekku, diriku meringis sewaktu merasakan jari-jari itu bergerak semakin cepat mempermainkan nafsuku.

Pak Yatno menurunkan kaos tanpa lenganku dari bahu dan meloloskannya lewat lengan kananku, sehingga kini buah dada kananku yang putih montok itu tersembul keluar. Dengan penuh nafsu langsung Pak Yatno lumat benda itu dengan mulutnya. Diriku menjerit kecil waktu Pak Yatno menggigit putingku dan juga mengisapnya kuat-kuat, bulatan mungil itu serasa makin menegang saja. Pak Yatno membuka mulutnya lebar-lebar berusaha memasukkan seluruh payudaraku ke mulutnya, di dalam mulutnya payudaraku disedot, dikulum, dan dijilat, rasanya seperti mau dimakan saja milikku itu. Sementara selangkanganku makin basah oleh permainan jarinya, jari-jari itu menusuk makin cepat dan dalam saja. Hingga suatu saat birahiku terasa sudah di puncak, mengucurlah cairan cintaku dengan deras. Diriku mengatupkan pahaku menahan rasa geli di bawahku sehingga tangannya terhimpit diantara kedua paha mulusku.

Setelah Pak Yatno cabut tangannya dari kemaluanku, nampak jari-jarinya sudah belepotan oleh cairan bening yang kukeluarkan. Pak Yatno jilati cairanku dijarinya itu, diriku juga ikutan menjilati jarinya merasakan cairan cintaku sendiri. Kemudian Pak Yatno cucukkan lagi tangannya ke kemaluanku, kali ini Pak Yatno mengelus-ngelus daerah itu seperti sedang mengelapnya. Telapak tangannya yang penuh sisa-sisa cairan itu dibalurinya pada payudaraku.

“Sayang kalo dibuang, kan mubazir” ucapnya.
Kembali lidahnya menjilati payudaraku yang sudah basah itu, sedangkan diriku menjilati cairan pada tangannya yang disodorkan padaku. Tanganku yang satu meraba-raba ke bawah dan meraih kontolnya, terasa olehku batang itu kini sudah mengeras lagi, siap memulai aksi berikutnya.

“Enggh.. masukin aja Pak, udah kepingin nih”.
Pak Yatno membalik tubuhku, tepat berhadapan dengannya, tangan kananya memegangi kontolnya untuk diarahkan ke memekku. Diriku membukakan kedua bibir memekku menyambut masuknya benda itu. Setelah kurasakan pas diriku mulai menurunkan tubuhku, secara perlahan tapi pasti kontol itu mulai terbenam dalam kemaluanku. Goyanganku yang liar membuat Pak Yatno mendesah-desah keenakan, untung Pak Yatno tidak ada penyakit jantung, kalau iya pasti sudah kumat. Kaosku yang masih menyangkut di bahu sebelah kiri diturunkannya sehingga kaos itu menggantung di perutku dan buah dada kiriku tersingkap. Nampak sekali bedanya antara yang kiri yang masih bersih dengan bagian kanan yang daritadi menjadi bulan-bulanannya sehingga sudah basah dan memerah bekas cupangan.

Kedua tangannya meremas-remas kedua payudaraku, sewaktu melumatnya terkadang kumisnya yang kasar itu menggesek putingku menimbulkan sensasi geli yang nikmat. Lidahnya bergerak naik ke leherku dan mencupanginya sementara tangannya tetap memainkan payudaraku. Birahiku sudah benar-benar tinggi, nafasku juga sudah makin tak teratur, Pak Yatno begitu lihai dalam bercinta, kurasa bukan pertama kalinya Pak Yatno berselingkuh seperti ini. Diriku merasa tidak dapat bertahan lebih lama lagi, frekuensi goyanganku kutambah, lalu diriku mencium bibirnya. Tubuh kami terus berpacu sambil bermain lidah dengan liarnya sampai ludah kami menetes-netes di sekitar mulut, eranganku teredam oleh ciumannya. Mengetahui diriku sudah mau keluar, Pak Yatno menekan-nekan bahuku ke bawah sehingga kontolnya menghujam makin dalam dan memekku makin terasa sesak. Tubuhku bergetar hebat dan jeritanku tak tertahankan lagi terdengar dari mulutku, perasaan itu berlangsung selama beberapa saat sampai akhirnya diriku terkulai lemas dalam pelukannya.

Pak Yatno menurunkanku dari pangkuannya, kontolnya terlihat berkilauan karena basah oleh cairan cinta. Dibaringkannya tubuhku yang sudah lemas itu di sofa, lalu Pak Yatno sodorkan gelas yang berisi teh itu padaku. Setelah minum beberapa teguk, diriku merasa sedikit lebih segar, paling tidak pada tenggorokanku karena sudah kering waktu mendesah dan menjerit. Kaosku yang masih menggantung di perut Pak Yatno lepaskan, sehingga kini diriku bugil total. Sebelum tenagaku benar-benar pulih, Pak Yatno sudah menindih tubuhku, diriku hanya bisa pasrah saja ditindih tubuh gemuknya. Dengan lembut Pak Yatno mengecup keningku, dari sana kecupannya turun ke pipi, hingga berhenti di bibir, mulut kami kembali saling berpagutan. Saat berciuman itulah, Pak Yatno menempelkan kontolnya pada memekku, lalu mendorongnya perlahan, dan aahh.. mataku yang terpejam menikmati ciuman tiba-tiba terbelakak waktu Pak Yatno menghentakkan pinggulnya sehingga kontol itu menusuk lebih dalam.

Kenikmatan ini pun berlanjut, diriku sangat menikmati gesekan-gesekan pada dinding memekku. Buah payudaraku saling bergesekan dengan dadanya yang sedikit berbulu, kedua paha rampingku kulingkarkan pada pinggangnya. Diriku mendesah tak karuan sambil mengigiti jariku sendiri. Sementara pinggulnya dihentak-hentakkan diatasku, mulutnya tak henti-hentinya melumat atau menjilati bibirku, wajahku jadi basah bukan saja oleh keringat, tapi juga oleh liurnya. Telinga dan leherku pun tak luput dari jilatannya, lalu Pak Yatno angkat lengan kananku ke atas dan Pak Yatno selipkan kepalanya di situ. Aahh.. ternyata Pak Yatno sapukan bibir dan lidahnya di ketiakku yang halus tak berbulu itu, kumis kasar itu menggelitikku sehingga desahanku bercampur dengan ketawa geli.

“Uuuhh.. Pak.. aakkhh..!” diriku kembali mencapai orgasme.

Vaginaku terasa semakin banjir, namun tak ada tanda-tanda Pak Yatno akan segera keluar, Pak Yatno terlihat sangat menikmati mimik wajahku yang sedang orgasme. Suara kecipak cairan terdengar jelas setiap kali Pak Yatno menghujamkan kontolnya, cairanku sudah meleleh kemana-mana sampai membasahi sofa, untung sofanya dari bahan kulit, jadi mudah untuk membersihkan dan menghilangkan bekasnya. Tanpa melepas kontolnya, Pak Yatno bangkit berlutut di antara kedua pahaku dan menaikkan kedua betisku ke pundaknya. Tanpa memberiku istirahat Pak Yatno meneruskan mengocok kemaluanku, diriku sudah tidak kuat lagi mengerang karena leherku terasa pegal, diriku cuma bisa mengap-mengap seperti ikan di luar air.

“Bapak udah mau.. Dik.. Citra..!” desahnya dengan mempercepat kocokkannya.

“Di luar.. Pak.. diriku ahh.. uuhh.. lagi subur” diriku berusaha ngomong walau suaraku sudah putus-putus.
Tak lama kemudian Pak Yatno cabut kontolnya dan menurunkan kakiku. Pak Yatno naik ke wajahku, lalu Pak Yatno tempelkan kontolnya yang masih tegak dan basah di bibirku. Akupun memulai tugasku, kukulum dan kukocok dengan gencar sampai Pak Yatno mengerang keras dan menjambak rambutku. Maninya menyemprot deras membasahi wajahku, diriku membuka mulutku menerima semprotannya. Setelah semprotannya mereda pun diriku masih mengocok dan mengisap kontolnya seolah tidak membiarkan setetespun tersisa. Batang itu kujilati hingga bersih, benda itu mulai menyusut pelan-pelan di mulutku. Kami berpelukan dengan tubuh lemas merenungi apa yang baru saja terjadi.

Sofa tempat diriku berbaring tadi basah oleh keringat dan cairan cintaku yang menetes disana. Masih dalam keadaan bugil, diriku berjalan sempoyongan ke dapur mengambil kain lap dan segelas air putih. Waktu diriku kembali ke ruang tamu, Pak Yatno sedang mengancingkan lagi bajunya, lalu meneguk air yang tersisa di gelasnya.
“Wah Dik Citra ini benar-benar hebat ya, istri-istri Bapak sekarang udah nggak sekuat Adik lagi padahal mereka sering melayani Bapak berdua sekaligus” pujinya yang hanya kutanggapi dengan senyum manis.

Setelah berpakaian lagi, diriku mengantarnya lagi ke pintu depan. Sebelum keluar dari pagar Pak Yatno melihat kiri kanan dulu, setelah yakin tidak ada siapa-siapa Pak Yatno menepuk pantatku dan berpamitan.
“Lain kali kalo ada kesempatan kita main lagi yah Dik”

“Dasar bandot, belum cukup punya istri dua, masih ngembat anak orang” kataku dalam hati.

Akhirnya diriku pun mandi membersihkan tubuhku dari sperma, keringat, dan liur. Siraman air menyegarkan kembali tubuhku setelah seharian penuh berolahraga dan berolahsyahwat. Beberapa menit sesudah diriku selesai mandi, ibuku pun pulang. Beliau bilang wangi ruang tamunya enak sehingga kepenatannya agak berkurang, diriku senyum-senyum saja karena ruang itu terutama sekitar ‘medan laga’ kami tadi telah kusemprot pengharum ruangan untuk menutupi aroma bekas persenggamaan tadi.