Tidak
mudah bisa bertahan hidup di Jakarta apabila seseorang tidak memiliki
kepandaian, stamina dan daya tahan terhadap berbagai tekanan dan
kesulitan. Dan itu semakin aku rasakan. Sejak tiga tahun terakhir aku
bersama istri yang baru kunikahi meninggalkan kampungku di Sleman,
Yogya, menuju ibukota Jakarta untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Hingga kini kehidupan yang lebih baik itu belum juga aku memperolehnya.
Aku
mau dan pernah melakukan pekerjaan apa saja sepanjang itu halal. Dari
penjaga toko, narik ojek, tukang batu atau pekerjaan lainnya yang sesuai
dengan apa yang aku bisa. Tetapi itu semua nampaknya belum menjanjikan
masa depan yang lebih baik.
Kebetulan ada famili jauhku, Pakde
Karto yang telah lama hidup di Jakarta dan mendapatkan kehidupan yang
cukup mapan. Usahanya sebagai tengkulak tembakau untuk pabrik rokok
‘gurem’ nampaknya membuat hidupnya kecukupan. Kalau aku kesulitan uang
Pakde Karto selalu menjadi tujuanku dan biasanya dia mau menolongku. Dia
bilang kasihan pada istriku yang masih muda harus menderita hidup di
Jakarta. Dia tidak mau mengajak aku kerja di tempatnya. Alasannya karena
kurang suka mempekerjakan sanak famili. Dia bilang dirinya punya sifat
gampang marah dan kasar. Khawatir sifat itu bisa menyinggung perasaan
dan putus hubungan kekeluargaan. Walaupun begitu dia sangat
memperhatikan kepentingan kami, khususnya kepentingan istriku. Terkadang
dia belikan sesuatu, misalnya baju atau perabot dapur atau lainnya.
Hanya
satu hal yang aku kurang sreg dengan Pakde Karto. Kalau aku minta
bantuan pinjam uang dia tidak ijinkan aku ke kantornya. Dia selalu
menyuruh sampaikan saja apa kebutuhanku lewat telpon, nanti dia akan
datang. Dan dia memang datang. Dia berikan pinjamanku dan dia juga bawa
oleh-oleh untuk Rini, istriku.
Selama berada di rumah
kuperhatikan matanya yang selalu nampak melotot memperhatikan tubuh
istriku. Beberapa kali dia bertandang ke rumahku, tak pernah sekalipun
dia bawa istrinya. Aku pikir dia nggak mau kesukaan melototnya saat
melihati istriku terganggu. Rasanya Pakde Karto ini bandot tua.
Kadang-kadang sikapnya aku anggap keterlaluan. Seharusnya dia mengetahui
dirinya sebagai panutan karena lebih tua dari aku. Tetapi dia tidak
pernah menampakkan perhatiannya padaku. Kalau aku ngomong, dia menyahut
‘ya, ya, ya’ tanpa pernah lepas dari pandangan ke Rini dan sama sekali
tak pernah melihat padaku. Terus terang kalau tidak terpaksa aku segan
berhubungan dengan Pakde Karto ini.
Dari sudut fisik, Pakde Karto
ini memang masih gagah. Pada umurnya yang memasuki 57 tahun, disamping
wajahnya yang memang cukup ganteng, tubuhnya juga cukup terawat baik,
tangannya ada sedikit berbulu. Tingginya sama dengan aku 175-an cm. Agak
gendut, mungkin karena cukup makmur. Dan tampang bandotnya memang nyata
banget. Aku yakin Pakde Karto suka mencicipi berbagai macam perempuan
dan tidak kesulitan untuk mendapatkan ‘daun-daun muda’.
Akan
halnya Rini, istriku, dia adalah gadis idamanku saat kami masih
sama-sama satu sekolah. Aku duduk di kelas 3 dan dia kelas 1 di SMU 1.
Kami langsung berpacaran sejak dia masuk ke sekolah. Aku bangga dapat
dia yang hitam manis dan paling ‘macan’, begitu teman-teman menyebut
‘manis dan cantik’ untuk Riniku ini. Dengan tingginya yang 170 cm, dia
termasuk gadis paling semampai di sekolah kami. Kalau ada lomba volley
antar sekolah Rini selalu menjadi bintang lapangan. Bukan karena menang
bertanding tetapi karena macan-nya tadi. Aku tahu banyak perjaka lain
yang naksir berat padanya. Walau Rini pernah juga mendapatkan julukan
‘piala bergilir’, aku tidak merasa keberatan. Dan pada akhirnya akulah
pemenangnya yang bisa menggandengnya ke pelaminan.
Sesudah
melewati tahun pertama pernikahan, kami merasakan adanya kurang
seimbang, khususnya dalam hal hubungan seksual. Secara sederhana, Rini
orangnya ‘hot’ banget, sementara aku mungkin ‘cool’ banget. Aku merasa
kewalahan kalau mesti menuruti kemauannya. Dia mau setiap hari
berhubungan seks. Sementara aku merasa cukup 2 kali seminggu. Untuk
memenuhi keinginannya Rini memberikan aku berbagai macam jamu atau obat
kuat. Pertama-tama kuikuti kemauannya itu. Tetapi hal tersebut tidak
berlangsung lama. Bagaimanapun kapasitas normalku ya, seminggu 2 kali
itu. Akhirnya solusinya adalah kompromi, aku akan selalu berusaha
menaikkan kapasitasku dan dia sedikit menurunkan kapasitasnya. Hasilnya?
Entahlah.
Walaupun belum mempunyai anak, karena kami sepakat
untuk KB sampai keadaan ekonomi kami mantap, Rini tidak kekurangan
kesibukkan. Dia sering menerima pesanan ‘caterring’ dari teman atau
tetangga untuk hajatan-hajatan kecil di seputar rumah kami. Terkadang
dia juga membuat makanan kecil untuk dititipkan ke warung-warung. Itu
semua dia kerjakan dengan senang hati untuk mencari sekedar tambahan
nafkah rumah tangga.
Dia juga suka mengeluh risih dengan sikap
Pakde Karto. Tetapi dia bilang nggak mau terlampau risau dan tetap
menunjukkan sikap sopan sebagai keponakan mantu.
Sejak beberapa
bulan terakhir ini aku terseret pergaulan teman di kampung ikut main
lotere buntut atau yang biasa disebut ‘togel’. Pada awalnya aku
menyaksikan seorang teman menarik kemenangan sebesar 15 juta rupiah
kontan. Aku langsung tergiur. Saat pertama kali aku pasang togel, Rini
marah dan sangat tidak setuju. Tetapi sesudah aku berusaha
menenangkannya akhirnya dia tidak lagi menentang walaupun tidak
sepenuhnya menerima gagasanku. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya
dari sekian nomer yang kupasang salah satunya berhasil menang. Aku
berhasil menarik 1 juta rupiah. Dengan gembira uang itu kuserahkan
seluruhnya kepada Rini. Ternyata istriku ini menerimanya dengan dingin.
Aku tidak putus asa dengan sikapnya itu. Aku anggap itu sebagai
tantanganku untuk memenangkan kesempatan berikutnya. Kini setiap hari
aku selalu sibuk dengan togel. Setiap hari berusaha mencari kode-kode
nomer bagus. Mungkin lewat mimpi sendiri atau mimpi tetangga, nomer
mobil yang melintas atau mentafsirkan gambar-gambar kode yang kudapat
dari bandar atau tanya ke dukun.Demikianlah hal tersebut berjalan
beberapa waktu dan ternyata aku tak pernah lagi menarik kemenangan yang
berarti.
Pada akhirnya aku benar-benar bangkrut. Dan tak ada
jalan lain kecuali aku telpon ke Pakde Karto untuk pinjam uang. Setelah
berbasa basi untuk keperluan apa uang itu dan kapan aku mengembalikannya
akhirnya dia setuju untuk memberi pinjaman. Sebagaimana biasa Pakde
Karto datang ke rumah. Walaupun hatiku resah karena ada satu nomer togel
penting yang kuyakini akan keluar malam ini tetapi aku harus sabar
sampai Pakde Karto menyerahkan uangnya ke istriku Rini. Kali ini rasanya
aku nggak keberatan kalau Pakde Sastro akan melotot untuk menikmati
kecantikan istriku. Silahkan, yang penting duitnya cepet turun.
Sesudah
aku menanda tangani pernyataan hutang yang selalu telah disiapkan Pakde
dan saat amplop uang diserahkan ke istriku yang untuk selanjutnya
dibawa dan dia taruh di bawah bantal, aku cepat bergerilya.
Tanpa
sempat menghitung kucomot separo dari tumpukkan uang itu. Dengan alasan
akan ke warung beli rokok kutinggalkan Pakde Karto di rumah bersama
Rini istriku. Aku tak sempat lagi memperhatikan wajah Pakde yang
langsung hingar bingar sambil menganggukan kepalanya padaku. Yang
kupikir sekarang adalah secepatnya menuju tempat bandar togel dan
memasang nomer pilihan. Aku akan tunjukkan pada istriku bahwa memasang
togel juga merupakan usaha yang bisa menghasilkan. Lebih dari separuh
uang yang kubawa kupasangkan pada nomer pilihanku dan sebagian lainnya
kupasang sebagai cadangan apabila nomer pilihan meleset. Aku yakin besok
bisa mengembalikan utangku pada Pakde dan sisanya yang masih sangat
besar akan kuserahkan seluruhnya pada istriku.
Demikianlah
perputaran kehidupanku akhir-akhir ini. Nomer togel itu nggak pernah
lagi kumenangkan. Rini selalu marah-marah dan semakin sinis padaku. Dan
hutangku pada Pakde Karto sudah tak terhitung lagi. Pada hari-hari
terakhir ini aku selalu lari menghindar kalau orang suruhannya datang
mencari aku. Dan melihat wataknya Pakde Karto pasti akan terus
mengejarku hingga uangnya bisa kembali.
Pada suatu pagi datang utusannya membawa surat. Aku tak berani menemuinya. Isteriku menerima surat itu, “Datanglah ke kantor. Jangan khawatir. Ada jalan keluar yang sama-sama menguntungkan. Saya tunggu siang ini. Pakdemu.” Ah,
nampaknya kali ini Pakdeku benar-benar mau membantu keponakannya yang
sudah pusing tujuh keliling. Aku berpikir dia akan suruh aku membantu
pekerjaannya di kantor agar aku bisa melunasi hutangku. Sesudah aku
pamit istriku tanpa ragu aku datang ke kantornya.
Di kantornya
aku langsung diantar Satpam masuk ke ruangan Pakde. Pakde menyuruh aku
duduk di sofa dan menyuruh Satpamnya yang nampak kekar berotot itu agar
berdiri menunggu. Ternyata Pakde menampakkan wajahnya yang sangar. Dia
melihati aku seperti seorang pemangsa melihati korbannya. Dengan
pandangan matanya yang bak elang siap mencabik-cabik mangsanya Pakde
berbicara dengan garang, “Begini Herman. Aku tahu kamu nggak mungkin
bisa membayar hutangmu yang hingga saat ini telah mencapai lebih dari 15
juta rupiah belum termasuk hitungan bunganya. Sekarang hanya ada satu
pilihan yang menyelamatkan kamu atau urusannya jadi lain,” dia
mengakhiri omongannya sambil melirik ke Satpamnya.
Dalam keadaan
yang sangat putus asa mana mungkin aku punya gagasan-gagasan untuk
memecahkan masalahku. Dan tekanan Pakde Karto ini memang pantas aku
terima. Aku memang sudah banyak janji tak bisa kupenuhi. Aku bangkrut
dan istriku terus marah-marah. Maka secepatnya aku pasrah saja. Aku
menyerahkan pada Pakde. Apapun jalan keluarnya aku akan menyetujuinya
yang penting hutangku lunas. Nampak sikap Pakde melunak. Dia suruh
Satpamnya meninggalkan ruangan.
Pakde mendekat sambil menepuk
pundakku. Dia minta aku mendekatkan kupingku. Beberapa saat dia
membisikkan usulnya. Sejak awal bisikkan kupingku sudah langsung panas
terbakar dan aku benar-benar terpojok tanpa punya pilihan. Pakde bilang,
aku bisa melunasi hutangku kalau dia boleh mengajak isterku Rini ke
villanya. Kalau aku tidak setuju mesti melunasi hutangku dalam tempo 1
kali 24 jam atau urusannya jadi lain.
Masih ada tambahkan lagi,
dia akan tidur bersama Rini selama 3 hari dan agar aku ikut juga ke
villa. Pelayannya sengaja dia liburkan karena Pakde takut mereka lapor
ke istrinya. Aku harus menggantikan tugas pelayan-pelayan itu untuk
membersihkan kamar dan melayani kebutuhan Pakde bersama Rini istriku
selama di sana.
Dia bilang hal itu terpaksa dia lakukan sebagai
pelajaran untukku. Kini aku harus cepat pulang untuk menyampaikan hal
ini kepada istriku. Besok pagi dia akan mengirim mobil untuk menjemput
aku dan Rini. Kami harus berlagak sebagai suami istri yang datang dan
menginap di villa itu. Pakde Karto akan datang sendirian menjelang sore
hari yang akan berlagak seolah-olah sebagai tamu kami.
Rupanya
naskah Pakde sudah dirancang secara matang. Mataku langsung
berkunang-kunang mendengar bisikkan iblis itu. Aku tak ingat apa-apa
lagi dan terjatuh lemas ke lantai. Saat aku sadar kulihat Satpam tadi
sudah mendudukkan aku ke sofa. Aku diberinya minum. Aku masih terhenyak
beberapa saat. Pakde Karto tak kulihat lagi. Dia hanya pesan pada Satpam
untuk menyampaikan sebuah amplop. Saat kubuka kulihat dua puluh lembar
100 ribuan rupiah dan secarik surat, “Herman, besok mobil menjemput kamu
bersama Rini, jam 7 pagi. OK?! Pakdemu.” “Bajingan..!”
Aku
tak melihat jalan keluar. Dengan sebelumnya aku minta maaf yang
sebesar-besarnya, dengan susah payah aku sampaikan keinginan Pakde
Karto. Istriku Rini menerima amplop Pakde Karto menengok isinya sambil
mendengarkan bicaraku kata demi kata dan kemudian melihat aku dengan
penuh iba. Aku tak mampu membaca perasaan dia. Dia nampak marah dan
sangat kecewa padaku. Pasti sepertinya sangat dihinakan dan itu sangat
menyakitkan. Aku juga langsung membayangkan Pakde akan menjamahi
bagian-bagian tubuhnya yang indah dan sangat rahasia. Pakde akan
melahapnya dengan kerakusan bandot tua. Dasar ibliiss..!! Selesai aku
bicara Rini rubuh ke lantai. Ah, kasihan kamu Rini.. Kamu jadi korban
ketidak mampuanku. Aku gagal menunjukkan tanggung jawabku selaku
suamimu. Aku sebenar-benarnya adalah suami yang pengecut. Ayoo..,
bangunlah. Kuraih tangannya untuk bangun dari lantai. Dengan limbung dia
tertatih dan bangkit. Dia langsung lari ke kamar tidur sambil
menghempaskan pintunya. Kususul tetapi ternyata pintunya terkunci.
Kucoba mengetok-etoknya. Akhirnya kubiarkan. Sebaiknya kubiarkan.
Biarlah dia melampiskan kemarahan dan kekecewaannya dulu. Pasti dia
tidak ingin aku mendekatinya. Dan pasti, entah bagaimana, Rini saat ini
sangat memandang aku dengan penuh kehinaan.
Aku mencoba sabar
dengan menunggunya hingga sore. Sementara rasa marah, cemburu, dendam,
cemburu, cemburu dan cemburu terus mengejar aku setiap aku mengingat
ucapan Pakde Sastro. Tetapi aku langsung ingat masa-masa masih pacaran
dulu. Aku sering memergoki Rini, yang pacarku waktu itu, nampak jalan
berduaan dengan teman lelaki yang lain. Waktu itu aku selalu berpikir
positip. Aku yakin dengan kesabaranku akhirnya Rini akan tetap kembali
ke aku. Dan itulah yang kemudian terjadi. Dialah yang kini menjadi Rini
Herman, khan?! Jadi aku sesungguhnya sudah terbiasa dengan rasa cemburu
yang kali ini berkobar dalam hatiku. Aku tetap akan berpikir positip
adanya Pakde Sastro bersama Rini istriku selama di villa nanti. Apalagi
dengan cara ini Pakde Sastro berjanji akan menganggap lunas seluruh
hutang-hutangku.
Dan besok, aku bersama Rini harus telah siap
saat mobil Pakde datang. Dari berbagai pikiranku yang campur aduk,
harapanku tetap pada Rini. Harapanku Rini bisa memahami kondisi ini. Dan
Rini siap untuk melayani keinginan Pakdenya.. Ah.. aku sudah semakin
pusing. Aku tak mampu lagi memikirkan tetek-bengek apa yang mungkin bisa terjadi. Lebih baik kini aku sedikt mencari hawa segar.
Kulihat
amplop di meja. Aku ingat nomer impianku hari ini. Ah, nggak salahnya
kalau aku ambil sedikit uang itu. Aku langsung bergegas ke bandar togel.
Cerita Rini Sang Istri
Masa
sekolah adalah masa yang paling menyenangkan. Begitu lulus SMP 3 aku
diterima di SMU 1 Sleman, Yogyakarta. Sebagai gadis remaja yang
menginjak dewasa aku dimanjakan alamku. Alam telah bermurah memberikan
aku kecantikan. Dan bak kembang yang sedang mekar, kumbang-kumbang di
sekitarku setiap saat mengelilingi aku untuk siap mencicipi maduku.
Dalam kelompok olah raga, dengan tinggi tubuhku yang 170 cm aku diterima
sebagai anggota club volley SMU. Setiap ada kompetisi, biar kalah atau
menang aku selalu menjadi bintangnya. Para jejaka antar SMU pada
mengenali ‘macan’ku. Demikian mereka memberi julukan padaku yang mereka
artikan sebagai manis dan cantik. Tentu saja hal itu amat membanggakan
dan sekaligus membuat para siswi dan gadis-gadis cemburu dan iri. Aku
bersikap ramah pada siapapun yang berusaha mendekati aku.
Beberapa
pria memang memberikan kesenangan padaku. Aku pikir tidak salah kalau
aku memberikan perhatian lebih pada mereka. Salah satunya adalah Ditto
yang anak dokter itu. Dia sangat simpatik. Wajahnya yang tampan telah
membuat aku kesengsem. Aku merasakan ciuman pertamaku dari Ditto ini.
Duh.., rasanya selangit. Aku juga akrab dengan Usman. Dia anak yang
paling cerdas di sekolahnya. Dia bercita-cita menjadi ahli pertanian dan
peternakan. Kesulitan pelajaranku selalu kutanyakan kepadanya. Usmanlah
yang menjadi pria pertama yang berani menjamah dan bahkan menyedoti
buah dadaku. Saat itu, dia cerita tentang proses kelahiran ikan paus.
Sesudah sekian bulan dalam kandungan ikan paus lahir sebagaimana
binatang menyusui lainnya. Dia langsung bisa menyesuaikan lingkungannya
yang di tengah samudra. Anak ikan paus langsung bisa berenang dan
mencari susu induknya. Aku sangat menikmati saat dia memperagakan
sebagai anak paus dan aku induknya.
Lain lagi dengan Pandi.
Tubuhnya yang jangkung itu membuat dia menjadi banyak incaran
gadis-gadis di kota kecil Sleman ini. Kuakui memang dengan jangkungnya
itu dia nampak sangat menawan. Gadis-gadis suka cekikikan kalau
membicarakan Pandi. Mereka berbisik mengenai penis lelaki jangkung yang
dipercayai pasti panjang dan besar. Aku ingin menjadi yang pertama bisa
menbuktikan bisikkan-bisikkan para gadis itu. Dan akhirnya aku percaya.
Dan aku jadi blingsatan serta penasaran saat berkesempatan jalan dengan
dia.
Saat itu dengan sepeda motornya dia mengajak aku menyaksikan
Samudra Hindia dari Parangtritis yang tidak jauh dari kotaku. Sesudah
menelusuri pantainya yang sangat indah kami beristirahat di tempat yang
sunyi dari pengunjung kebanyakan. Sesudah melalui proses saling raba dan
cium yang cukup lama, dengan tetap duduk di sepeda motornya Pandi
membiarkan saat tanganku merabai tonjolan di selangkangan celananya. Aku
juga tidak tahu kenapa nafas birahiku memburu. Tanganku melepasi
resluiting dan menarik kebawah celananya.
Birahiku semakin tak
tertahankan saat kulihat alur besar agak melengkung melintang dari balik
celana dalamnya. Tanganku merabai, kemudian menyusup lewat tepiannya
dan meraih penis itu. Woow.. gede banget. Telapak tanganku merasakan
batangan sebesar pisang tanduk yang keras kenyal dan hangat. Batangan
itu berdenyut-denyut menggoyahkan saraf-saraf birahiku. Kugerakkan
bersama jari-jariku untuk mengelusinya. Kudengar suara yang sangat
nikmat ditelingaku. Suara debur Samudra Hindia dan derai angin
Parangtritis bersamaan erangan nikmat dari mulut Pandi.
Itulah
untuk pertama kalinya aku melihat dan menyentuh dan bahkan mencicipi air
mani lelaki. Saat mau muncrat kelakuan Pandi menjadi kasar. Kepalaku
diraihnya untuk dipaksa mengulum penisnya. Air maninya yang kental
keluar dari setiap denyutan penisnya. Karena dorongan birahiku, aku juga
menjilati yang tercecer di pahanya dan juga di jok sepeda motornya. Aku
nggak habis mengerti kenapa sesudah itu Pandi tak pernah lagi mengajak
aku pergi.
Kuperhatikan teman-teman pria itu gede cemburuannya.
Mereka mau monopoli aku. Aku menjadi kurang nyaman dalam kungkungan
macam itu. Biasanya, kalau tidak mereka, ya aku yang meninggalkannya
untuk pergi ke pria lain.
Akhirnya aku menikah dengan Mas Herman.
Ternyata lelaki macam dialah yang bisa menerima aku dengan penuh sabar.
Aku tahu Herman telah naksir berat padaku begitu aku menginjak SMU-nya.
Sebagai yunior aku sering mendapatkan bantuan mengenai perpustakaan,
grup olah raga atau acara antar siwa lainnya.
Herman memang sabar
dan penuh toleransi. Bahkan saat dia melihat aku jalan berdua-an dengan
anak lelaki yang lain Herman tidak merubah sikapnya padaku. Herman juga
selalu jadi terminal dan tempat aku mengadu. Kekecewaanku pada pria
lain kuceritakan apa adanya padanya. Dia sabar mendengarkan aku dan pada
sikapku yang labil. Aku merasakan libidoku kelewat panas. Aku tidak
hidup tanpa ada lelaki disampingku. Dan Hermanlah akhirnya yang selalu
mengisi kekosonganku.
Saat kami sepakat pindah ke Jakarta aku
sudah siap untuk menghadapi berbagai cobaan hidup. Aku punya bakat
bertualang. Dan salah satunya sudah kubuktikan dalam hal berhubungan
dengan lelaki. Aku tidak takut kesulitan di Jakarta. Aku yakin pada
diriku, aku juga tidak khawatir dengan Herman yang selama ini mengetahui
dan sabar menghadapi berbagai macam kesulitan.
Yang kurang aku
setujui akhir-akhir ini adalah kesukaannya akan lotere buntut. Aku benci
banget kalau lihat lelaki sibuk dengan lotere buntut atau togel itu. Di
mataku mereka itu kumuh. Bayangkan saja, mandi saja rasanya tidak
sempat. Mereka terjebak pada kertas-kertas kode. Sepanjang harinya hanya
memikirkan ramalan-ramalan dukun atau firasat mimpi-mimpinya bahkan
mereka ini sudah demikian rapuh dimana sebuah keyakinan bisa langsung
buyar berkeping-keping oleh nomer plat mobil yang kebetulan melintas di
depannya.
Itulah Herman hari ini. Dalam tempo pendek dia terlibat
hutang yang besar. Pakde Karto adalah Pakde sepupunya yang kebetulan
punya usaha yang cukup maju di Jakarta. Pada Pakdenya inilah Mas Herman
minta pinjaman uang kalau lagi kesulitan. Pada awlnya pinjaman itu tak
begitu besar dan bisa lekas dikembalikan saat ada sedikit rejekinya.
Tetapi sejak bermain togel, kebutuhannya semakin tinggi dengan kemampuan
pengembaliannya semakin rendah, bahkan boleh dibilang nol. Pakde sudah
tidak mau memberikan pinjaman lagi. Bahkan beberapa hari terakhir ini
orang suruhannya mencari-cari Mas Herman yang selalu menghindar. Terus
terang aku repot banget menghadapi kenyataan ini.
Tadi pagi orang
suruhannya kembali datang membawa surat. Aku terima dan baca. Dari nada
tulisannya Pakde Karto akan memberikan jalan keluar yang sama-sama
menguntungkan. Nggak usah kawatir, begitu katanya. Aku berpikir, mungkin
Mas Herman dimintanya untuk membantu pekerjaannya agar bisa melunasi
hutangnya. Aku sampaikan surat itu kepadanya. Dia minta pertimbangan
aku, apa mesti menemui Pakdenya. Aku bilang itu urusan Mas Herman,
terserah mau datang atau tidak. Aku memang agak ketus. Soalnya aku sudah
kesal. Sejak awal aku sudah sampaikan bahwa aku tidak suka judi.
Akan
halnya Pakde Karto, aku memahami sifatnya sebagai lelaki. Umumnya
lelaki memang mata keranjang. Apalagi Pakde ini punya uang, dan
tampangnya juga ‘handsome’ kata gadis-gadis jaman aku masih SMU dulu.
Walaupun sudah umur, lelaki itu ibarat keladi, makin tua semakin jadi
dan semakin seksi. Dan itu semua dimiliki Pakde Karto. Dan aku juga
sepenuhnya menyadari bahwa Pakde nampak kesengsem padaku. Dari pandangan
matanya kurasakan betapa dia pengin banget melahap tubuhku. Terus
terang diam-diam aku menikmati mata keranjangnya Pakde. Tentu sikapku
ini tak akan kutunjukkan pada Herman suamiku. Aku masih suka mimpi
merasakan kembali bagaimana kumbang-kumbang terbang mengitari aku
sebagai kembangnya. Kekaguman lelaki yang nampak matanya rakus menikmati
tubuhku sungguh membuat bergetar hatiku. Mata-mata penuh nafsu yang
seakan melihat aku telanjang itu benar-benar memberikan aku gairah
birahi.
Aku memang berdarah panas. Aku selalu rindu belaian. Aku
selalu merindukan sentuhan dan tusukkan erotis. Mas Herman suamiku
berterus terang tidak bisa mengimbangi darah panasku. Aku sering
membayangkan lelaki lain atau semacam Pakde Karto yang mampu memberikan
kehangatan semacam itu. Kalau sudah begitu aku ingat kembali saat-saat
bersama Ditto, Usman atau Pandi. Masih terasa banget dihidungku aroma
mereka. Masih terasa banget dibibir dan lidahku di bibir, leher dan dada
mereka dalam kecupan dan jilatan manisku. Masih terasa banget hangatnya
cairan kental dari penis Pandi yang membasahi mulutku. Ah.., akankah
hal itu akan kudapatkan lagi?
Memang Pakde Karto tidak lagi
pantas menjadi panutan Mas Herman sebagai keponakannya. Setiap kali
datang ke rumah yang semestinya urusannya sama Mas Herman, Pakde justru
mengumbar matanya seakan hendak menelanku. Sering aku lihat dia hanya
mengangguk-angguk saat Mas Herman menyampaikan sesuatu, sementara
wajahnya melihati ke arahku.
Belum lama ini dia datang atas
permintaan Mas Herman untuk meminjami uang, sesaat sesudah menerima uang
Mas Herman yang sedang kegilaan sama togel pergi ke bandar togel untuk
mengejar mimpinya dan meninggalkan aku yang hanya bersama Pakde Karto.
Tentu saja Pakde langsung menggunakan kesempatan itu untuk lebih
mendekati aku.
Dengan gaya seolah-olah orang tua yang melindungi anaknya, dia mengelusi rambutku, “Rini,
kalau kamu punya masalah biar Pakde bantu ya. Kamu masih muda dan
sangat ayu. Seharusnya kamu nggak perlu menderita. Kamu perlu apa?
Ngomong saja nanti aku bantu ya, Cah Ayu”. Duh, gombalnyaa.. Aku
merinding saat tangannya yang nampak berbulu sempat menyentuh kudukku.
Kemudian dia merogoh kantongnya dan memberikan kepadaku amplop besar, “Ini buat kamu sayang. Jangan kasih Herman. Nanti buat judi lagi.” Tentu saja aku terima. Aku juga perlu uang pribadi. Aku bertemu pandang dengan Pakde, “Terima
kasih,” ucapku pelan yang dia balas dengan senyuman buaya sambil
tangannya menjumput daguku kemudian menariknya untuk mencium bibirku.
Peristiwa
itu sama sekali tak kuduga dan berlangsung sangat cepat sehingga aku
tak sempat menghindarinya kecuali dengan secepatnya aku menarik diri dan
melepaskan dari rengkuhannya. Ah, seharusnya aku tersinggung dengan
tingkahnya itu. Tetapi entahlah. Sepertinya aku tidak bisa berkutik
didepan Pakde Karto ini. Pada saat seperti ini rasanya dia sangat
kharismatik. Aku tunduk. Aroma parfum lelakinya semburat menerpa
hidungku. Sepulang dari kantor Pakde kulihat Mas Herman sangat
tegang, kasihan. Aku berjanji pada diriku, apapun aku akan bantu
suamiku. Aku ingin meringankan bebannya. Dia langsung duduk bengong,
linglung. Aku sodorkan segelas air putih yang langsung diminumnya habis.
Dia belum juga ngomong. Diserahkannya padaku amplop yang penuh. Loh,
kok dapat malahan uang, pikirku. Aku langsung membukanya. Kudapati
segepok uang dan secarik kertas. Aku belum juga ngerti makna semua ini.
Pakde
Karto akan menjemput kami besok pagi. Apa maksudnya? Mau menjemput
kemana? Dengan penuh tanda tanya aku goyang-goyangkan tubuh Mas Herman.
Akhirnya dengan tersendat-sendat dia bicara dan bicara. Aku mencoba
menangkap kata per kata. Kemudian aku mencoba memahami rangkaian
kata-kata tadi. Hingga akhirnya aku tetap tak mengerti bahwa seorang
Pakde Karto akan caranya yang demikian buruk untuk bisa mendapatkan dan
menikmati tubuhku. Ah, kenapa mesti begini..?!
Tetapi yang
sesungguhnya paling menyedihkan dan langsung membuatku sangat kecewa
adalah sikap Mas Herman sendiri. Dia sama sekali tidak menunjukkan
kapasitasnya sebagai suami. Dia ternyata hanyalah seorang pengecut. Dia
dengan begitu tega mengorbankan aku sebagai isterinya. Dengan dia
menerima amplop berisi uang yang kini ditanganku berarti dia benar-benar
telah menjual aku dan menjadikan aku sebagai alat untuk membayar
hutang-hutangnya dengan sama sekali tidak membicarakannya padaku
terlebih dahulu. Dan kini, aku harus dan harus menerima buah
kepengecutan dia. Aku langsung limbung. Kulihat dinding-dinding kamar
oleng dan jungkir balik. Tubuhku sangat lunglai dan aku langsung
terjerembab ke lantai. Aku kini merasa sebatang kara tanpa ada
seorangpun yang melindungiku. Fungsi Mas Herman sebagai suami sudah
musnah karena kepengecutannya. Dia tak akan pernah mampu menyelamatkanku
lagi.
Kurasakan tangan Mas Herman menarikku bangkit. Pelan-pelan
aku bangun dari lantai dan langsung lari ke kamar tidur. Pintunya
kubanting dan aku mengunci diriku. Aku rebah tergolek dan tersedu di
ranjang. Ketukan pintu yang bertubi-tubi dari Mas Herman tak
kudengarkan. Kini yang hadir dalam hati dan pikiranku adalah rasa marah,
kecewa dan dendam. Aku marah, kecewa dan dendam kepada kehidupan ini.
Kepada ketidak mampuan dan segala kelamahan yang aku alami. Kepada sikap
suamiku yang bagitu mengabaikan saat aku melarangnya berjudi. Dan tetap
tak habis heranku memikirkan rencana Pakde Karto itu yang jelas-jelas
mengorbankan hubungannya dengan keponakannya. Ber-jam-jam aku tidak
keluar dari kamar. Pikiranku terus melayang-layang memikirkan banyak
hal-hal. Aku menerawang jauh ke hari depan yang begitu gelap dan
mendung.
Aku keluar kamar menjelang malam. Tak kujumpai Mas
Herman. Kulihat amplop di meja setengah terbuka. Kuambil. Ternyata
isinya tinggal separuh. Edaann.., sungguh edaann.. kamu Mas.., dalam
situasi begini kamu masih menyempatkan pergi untuk ke bandar
togelnyaa..!! Edaann..!! Tiba-tiba aku hatiku jadi menyala berkobar..
Kalau begini jadinya, sudahlah.. terjadilah apa yang mesti terjadi.
Seperti dicambuk jilatan geledek dan petir aku bangkit sebagai banteng
betina yang sangat marah dan kecewa. Aku mau bebas. Aku mau merdeka.
Dan, ah, aneh.., tekad itu langsung membuat marah, kecewa dan dendamku
langsung pupus. Kebebasan dan kemerdekaanku membuka kesadaranku bahwa
aku tak perlu tergantung siapapun. Dan yakin mampu berjalan sesuai
dengan rasa bebas dan merdekaku.
Sikap itu langsung membatu dalam
diri sanubariku. Aku akan mengambil langkahku sendiri. Kini kuyakini,
akulah yang harus mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Tak ada lagi
suami atau Mas Herman. Yang ada hanyalah aku yang sendirian dengan
hari-hari depanku sendiri. Aku akan jalani apa yang mesti aku jalani.
Aku akan jemput Pakde Sastro sesuai dengan kebebasan hatiku. Aku akan
layani dan puaskan hausnya nafsu hewaniah Pakde Sastro. Aku akan mereguk
kenikmatan syahwatku yang selama ini tak sepenuhnya kudapatkan. Aku
akan tunjukkan pada Herman bahwa aku kini bebas se-bebas-bebasnya.
Cerita Pakde Karto
Setiap
mengingat bahwa aku ini hanya jebolan SMP dari desa kecil di kecamatan
Sleman, Yogyakarta, yang kalau aku turun di terminal saat pulang kampung
masih memerlukan 1 jam lagi berjalan kaki dan nyeberangi kali hingga
sampai ke rumahku di kaki bukit Menoreh, maka aku merasa bahwa apa yang
kini aku bisa raih di Metropolitan Jakarta ini sungguh membanggakan. Dan
kalau aku pulang kini, ibaratnya aku cukup dengan duduk di jok empuk
sambil nginjak-injak rem serta gas mobil Panther-ku sejak start dari
pintu garasi rumahku di Jakarta hingga turun di samping kandang sapi
orang tuaku di desa kecil di kecamatan Sleman itu.
Jakarta memang
memberi apa yang kuminta. Usahaku yang menyalurkan tembakau untuk
pabrik-pabrik rokok kecil di Jakarta membuahkan hasil. Aku menjadi pusat
omongan di desaku. Kalau kudengarkan omongan orang desa, aku kini
sudah menjadi orang yang pantas menjadi contoh mereka. Nggak tahu dari
mana asalnya, kalau mereka ketemu mereka memanggilku dengan ‘den Karto’.
Aku nggak menampik panggilan itu. Aku anggap bahwa itu urusan mereka.
Yaahh..,
semuanya itu karena kerja keras dan uang yang kuhasilkan. Terbukti
dengan uang aku bisa meraih banyak kesenangan. Makan enak, rumah,
beberapa mobil dan kesengan lainnya. Bahkan biarpun umurku sudah 57
tahun dengan uang itu aku tetap dengan gampang menggaet gadis atau janda
manapun yang kumaui. Memang menurut orang-orang aku juga termasuk
lelaki yang memiliki tampang dan seksualitas yang lumayan.
Saat
ini aku lagi kesengsem sama Rini istri Herman keponakan sepupuku. Pada
awalnya Herman menemuiku di kantor untuk minta bantuan keuangan padaku.
Aku memberikan bantuan ala kadarnya. Aku pikir nggak baik terlalu
gampang pada famili, nantinya bisa jadi repot. Saat pulangnya, karena
memang masih ada hubungan famili, aku antar pulang ke rumahnya untuk
melihat keadaan rumah tangganya. Saat itulah aku lihat Rini. Isteri
Herman ini benar-benar cantik dan manis. Pikiranku langsung terganggu.
Aku tahu, perempuan macam Rini ini akan sangat galak dan panas saat di
ranjang. Dengan warna kulit yang coklat hitam manis, dengan postur
jangkung dan bahunya yang bidang indah itu, aku pastikan Herman
kewalahan menghadapi birahinya Rini. Lihat, betisnya itu. Betis yang
‘merit’ bak padi Cianjur yang matang dan padat sebelum dituai. Itu
menandai bahwa nafsu perempuan ini tak mudah terpuaskan.
Aku
langsung kasmaran. Dalam hatiku aku langsung bertekad. Rin, kamu pasti
akan tidur bersamaku. Aku akan meraihmu, lambat atau cepat. Sejak saat
itu aku selalu menunggu kesempatan. Aku tak pernah menolak permintaan
pinjaman uang Herman, karena memang aku selalu gunakan kesempatan itu
untuk melihat Rini.
Suatu saat bisnisku mendapatkan kesulitan
keuangan. Tagihan-tagihanku agak tersendat karena para langgananku
mengulur waktu pembayarannya. Sementara para pemasokku yang dari
berbagai daerah gencar banget menagih aku. Bahkan salah satu dari mereka
mengancam aku secara fisik hingga aku khawatir akan keselamatanku
maupun keluargaku. Aku menghadapi krisis berat, krisisnya bisnis di
tengah metropolitan yang kejam. Aku kewalahan. Aku coba tengok-tengok
kembali dimana uang-uangku. Dimana tunggakan-tunggakan macet.
Dan
kudapatkan dari sekian penunggak hutang salah satunya adalah Herman.
Ternyata pinjaman Herman padaku sudah kelewat besar dan telah jauh
melewati batas waktu pembayaran. Ah, ini tak boleh kubiarkan. Aku tahu
bahwa tak akan gampang bagi Herman melunasi hutang-hutang ini. Tetapi
aku harus menagihnya. Bukankah terakhir ini dia suka pasang lotere
buntut. Siapa tahu dia dapat pukulan telak yang bisa langsung melunasi
seluruh hutangnya. Dan kalau toh tak bisa juga? Bukankah ada Rini
istrinya yang sangat seksi itu? Aku pikir biarlah hutang itu kuanggap
lunas kalau aku bisa meniduri Rini barang 2 atau 3 hari saja. Kini
kuperintah orangku untuk mendatangi Herman dan mengajukan surat
tagihannya.
Setelah beberapa kali mencari-cari orangku tak
berhasil menemui Herman aku mulai kesal. Masak bantuan dan kebaikanku
padanya selama ini tidak dihargai. Setidak-tidaknya ada omongan atau
janji kapan, begitu loh. Aku tersinggung dan marah. Herman ini mesti
dikasih pelajaran. Dia harus tahu bagaimana aku Pakdenya menyelesaikan
masalah-masalahnya. Aku harus cari siasat. Aku coba pikirkan dan
analisa.
Kesimpulanku akhirnya, bahwa Herman tak akan mampu
membayar hutangnya. Kuhitung telah lebih dari 15 juta rupiah, belum
termasuk bunganya. Itu jumlah yang besar buatku kini. Aku tak mau rugi.
Aku tak mau hasil jerih payahku begitu saja diambil Herman yang memang
dasarnya pemalas itu. Aku harus mendapatkannya kembali uang itu. Kalau
nggak bisa juga, aku harus dapatkan pengganti yang kira-kira nilainya
sepadan. Rini, istrinya!
Kini Herman tinggal pilih, bayar hutang
dengan uang atau Rini. Aku bergegas ke mejaku. Kutulis surat untuknya.
Kuperintahkan orangku kembali mengantarkannya dengan pesan, kalau tak
ketemu Herman, serahkan saja ke isterinya, suruh dia baca untuk
disampaikan ke suaminya. Aku bersiasat dengan memberikan nada harapan
pada surat itu. Aku minta datang ke kantor siang hari itu. Aku bilang
jangan khawatir, ada jalan keluar yang sama-sama menguntungkan, tulisku.
Nah,
akhirnya datang juga si pecundang ini. Dengan diantar Satpam dia masuk
keruangan kerjaku. Aku menampakkan wajah sangarku. Kuperintah Satpamku
agar menunggu dan mendengarkan bicaraku. Nampak wajah lelahnya. Aku
bicara garang tentang hutangnya yang sama sekali belum dibayar. Aku
berikan padanya kesempatan untuk mendengar bicaraku atau urusannya jadi
lain. Nada bicaraku kubuat sangat menekan dia. Dan ternyata Herman
langsung menyerah. Dia bilang terserah bagaimana aku. Yang penting dia
ingin lekas terbebas dari hutang-hutangnya yang menumpuk itu.
Aku
langsung bayangkan bahu bidangnya Rini. Juga betisnya yang bak beras
Cianjur yang matang itu. Kutolehkan kepalaku ke Satpam. Kusuruh dia
keluar ruangan. Kemudian aku mendekat ke Herman, kupegang bahunya dan
kudekatkan bibirku ke telinganya, aku berbisik. Kuucapkan apa mauku. Aku
mau mengajak Rini ke villaku selama 3 hari dan aku mau juga dia ikut
untuk menggantikan tugas pelayanku yang kusuruh pulang selama aku
bersama Rini di sana. Hal ini aku lakukan agar pelayanku itu tidak
melihat apa yang kuperbuat dan lapor pada istriku. Kutekankan pula bahwa
semua ini karena ulahnya yang tidak bertanggung jawab. Dia harus
menerima pelajaran dariku.
Aku belum selesai bicara saat kulihat
Herman nampak limbung dengan cahaya matanya yang layu. Dia rebah lemas
ke lantai. Aku panggil kembali Satpamku untuk mengurusinya. Kuserahkan
amplop berisi 20 lembar ratusan ribu rupiah berikut sedikit catatanku
agar Rini bersama dia telah siap aku jemput besok jam 7 pagi. Aku
percayakan pelaksanaan selanjutnya pada Satpamku, aku tinggalkan
ruangan. Aku monitor sorenya. Tidak ada reaksi penolakkan dari Herman.
Yaa.., dia nggak mungkin punya lain pilihan. Dan mengenai Rini. Aku
yakin Rini tak akan menolakku. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu
saat aku mencuri ciuman dibibirnya, dia tidak menunjukkan kemarahan.
Ah.. besok aku akan menikmati tubuh sensualnya. Aku menggigil menahan
gelora birahiku yang langsung menyala.
Tiga hari di Villa Rimbun Ciawi
Pada
suatu pagi hari, sekitar jam 7 pagi sebuah sedan Honda Civic keluaran
terbaru dengan remnya yang berdernyit berhenti di depan rumah keluarga
Herman. Seorang sopir yang amat sopan nampak turun, masuk kehalaman dan
memberikan salam hormat kepada nyonya rumah yang rupanya sudah nampak
tak sabar menunggunya. Tidak terlalu lama sang sopir menunggu, tuan dan
nyonya rumah mengambil koper atau cangkingan lainnya yang telah
disiapkan sebelumnya. Sesudah semua barang bawaan masuk ke begasi,
Herman sang tuan dan Rini sang nyonya memasuki mobil. Ada sedikit
insiden kecil. Rini mau Herman duduk di depan bersama sopir dan dia
sendirian di belakang. Semula Herman menolak, dia ingat pesan Pakdenya
mereka harus nampak sebagai suami istri yang akan memakai villanya.
Tetapi
melihat kukuhnya Rini akhirnya Herman mengalah. Sepanjang hampir 1 jam
perjalanan keduanya tidak banyak bicara. Hanya sesekali terdengar Herman
ngomong sama sopir mengenai apa yang nampak sepanjang perjalanan.
Adapun Rini kelihatannya sedang berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia
yang telah memutuskan dirinya sebagai pengambil keputusan bagi dirinya
sendiri kini nampak tegar dan yakin akan keputusannya sebagai orang yang
bebas dan merdeka untuk menentukan apapun yang terbaik bagi dirinya. Walaupun
saat ini dia masih dikuasai rasa muak dan telah kehilangan selera sama
sekali untuk berbicara atau melihati tingkah suaminya itu, dia tetap
berusaha untuk menghilangkan berbagai rasa kecewa dan dendam kepada
siapapun teristimewa kepada Herman. Yang dia inginkan sekarang adalah
menunjukkan kepada Herman bahwa dia berbuat apapun yang bisa dia perbuat
sesuai keinginan hatinya.
Herman yang tadi malam baru pulang jam
11 malam untuk menunggu keluarnya nomer togel tidak memahami apa yang
tengah berkecamuk pada diri istrinya Rini. Yang dia simpulkan hanya
bahwa Rini ternyata mau menerima apa yang menjadi keputusan Pakde Karto.
Dan itu artinya dia telah sukses dalam menjalankan misinya demi
terbebasnya beban hutangnya pada Pakde Karto. Dia sudah tidak lagi
dikuasai rasa cemburu atau rasa tertekan yang lain. Memang Herman
termasuk lelaki yang paling mudah menyerah. Dengan sikapnya yang sabar
dan selalu mau berpikir positip dia dengan cepat beradaptasi dengan
kekalahannya. Tentu saja cara begini ini membuat rancu antara orang
sabar dengan pikiran positif yang sejati versus orang yang memang tidak
memiliki motivasi, daya juang dan stamina untuk bertahan di tengah
berbagai kesulitan hidup macam si Herman ini.
Bangunan Villa
Rimbun Ciawi milik Pakde Sastro ini relatip kecil dibandingkan
halamannya yang hampir seluar 2 hektar itu. Dalam vila ada 2 kamar
tidur, 1 utama yang besar lengkap dengan kamar mandi di dalam dan yang
lainnya lebih kecil. Ada dapur yang lengkap dan ruang tamu berikut
perabotannya yang sangat nyaman. Di belakang rumah ada taman yang asri
lengkap dengan kali kecil yang mengalir di dalamnya. Nampak dikejauhan
lebih ke belakang hutan pakis dan pinus yang bersuasana sangat alami.
Kesejukkan pegunungan di kawasan Ciawi ini membuat villa ini terasa
sangat romantis dan tepat bagi mereka pasangan yang sedang berbulan
madu. Setelah menyerahkan kunci villa bersama amplop surat Pakde Karto
khusus untuk Rini dan bungkusan besar berisi makanan untuk siang itu,
Pak sopir minta pamitan untuk balik ke Jakarta.
Sepulang Pak
sopir, Rini cepat membuka surat itu. Herman tahu menempatkan diri. Dia
berpura tak acuh, berdiri dan jalan ke beranda. Pakde bilang agar Rini
menempati kamar utama yang besar, dan Herman memasuki kamar di
sebelahnya yang kecil. Pakde akan datang sekitar jam 3 sore, karena
masih ada beberapa pertemuan di Jakarta. Tanpa bicara Rini kemudian
menyerahkan surat itu kepada Herman agar tahu apa yang dimaui Pakdenya.
Dengan membanting pintu dan menguncinya Rini memasuki kamar utama sesuai
kemauan Pakde Karto. Dan Herman langsung mengangkat tasnya sendiri ke
kamarnya.
Ah.. kamar ini.. betapa mewah dan nyamannya.. Diarah
samping nampak jendela besar dengan pintu ke beranda yang memberikan
pemandangan indahnya alam pegunungan. Sesudah menaruh kopernya Rini
mengamati interior kamarnya. Di samping ranjang mewah yang beralaskan
sutra dia dapati vas besar dengan kembang mawar merah yang segar.
Haahh.. tentunya sesorang telah menatanya sebelum dia datang. Mungkin
Pakde yang, siapa tahu, nginap disini tadi malam dan menyiapkan
segalanya, kemudian subuh balik ke Jakarta. Ah.. ada surat kecilnya.. “Rini sayangku.. aku mencintaimu .. Karto.”
Lihat
di pojok itu. Bukankah itu wewangian aroma therapy di atas lilin kecil
dari Korea yang sangat mahal itu? Sangat romantis. Rini sangat
tersanjung dengan pernik-pernik itu. Sungguh pintar bulusnya Pakde Karto
ini.
Rini ingin tahu lebih banyak lagi apa yang telah diperbuat
Pakde Karto. Dia temukan baju tidur lembut tergantung di lemari
pakaiannya disamping beberapa gaun-gaun mewah dan baru yang juga siap
pakai. Dia pastikan semuanya itu untuk dia. Sesuatu yang belum pernah
dia dapatkan dari suaminya sendiri. Dia ambil gaun-gaun itu dan bak
peragawati dia memantas-pantaskan gaun-gaun itu pada tubuhnya di depan
cermin. Sesekali dia senyum ketika menerawang ke cermin. Ah, bukankah
kamu memang cantik dan luwes, Rin. Semua busana-busana itu dalam ukuran
yang sungguh tepat untuk tubuhnya. Bukan main Pakde ini.
Berjam-jam
dan hampir sepanjang hari Rini menyibukkan dirinya di kamar utama itu.
Dia kembali membaca surat kecil romantis itu, Dia kembali mengamati
wewangian mahal dari Korea itu dan berkali-kali mencoba pakaian-pakaian
indah dan mewah yang bermacam dalam lemari itu.
Sementara itu
Herman memasuki kamarnya. Tidak ada yang istimewa dia temukan dalam
kamar itu. Mungkin ini kamar yang biasa dipakai pelayan atau penunggu
villa ini. Nampak ranjangnya ditutup dengan sprei yang sudah lusuh.
Kalau toh ada semburat wewangian itu karena aroma therapi yang semerbak
menyebar keluar dari kamar utama dimana kini Rini berada. Sementara
satu-satunya pemandangan adalah jendelanya yang justru menghadap ke arah
jalanan dengan lalu lalang berbagai macam kendaraan yang melintas.
Selebihnya adalah dinding-dinding kamar yang menjadi batas kamarnya
dengan kamar Rini.
Ohh.. tunggu dulu. Bukankah ini dinding
artistik buatan dari papan-papan kayu pegunungan. Dan lihatlah,
papan-papannya yang artistik ini penuh celah-celah dimana sesorang bisa
mengintip ke kamar sebelahnya. Nah, aku bisa ngintip Rini, dong. Sedang
apa dia?
Dan itu yang kemudian dilakukan Herman. Dan, ah..
benar.. dia kini bisa melihat istrinya sedang memantas-mantas dirinya
dengan busana-busana indah yang pasti telah tersedia baginya. Ah, betapa
cantik istriku Rini, begitu kata hatinya. Memang dia selalu bangga akan
kecantikkan istrinya. Dan Herman tahu banyak lelaki yang kepingin bisa
tidur dengan Rini.
Kemudian dia membayangkan sesaat nanti akan
menyaksikan dari celah papan ini bagaimana Pakde Karto si bandot tua itu
melahapi tubuh cantik isterinya itu. Ah, jangaann..!! Tiba-tiba
kembali Herman disergap rasa sakit dan cemburu yang menyala-nyala.
Rasanya tak mungkin dia bisa rela menyaksikan Rini dalam pelukan
Pakdenya. Dan akan melihat bagaimana Pakdenya melepasi satu-satu
pakaiannya hingga istrinya bertelanjang. Dan bahkan dia akan dalam
rengkuhan penuh birahi Pakde Karto yang juga akan sama-sama telanjang.
Tiddaakk..!!
Herman kepingin membenturkan kepalanya ke
dinding-dinding kamar itu. Tetapi kenapa?? Bukankah karena
pengorbanannya dan juga pengorbanan istrinya hutangnya yang kini
mencekik lehernya itu akan lunas? Bukankah dia akan terlepas dari beban
yang tak tak terelakkan itu? Dan Pakdenya tidak lagi mengejar-kejarnya?
Ah.., aku rasa pantas apa yang mesti aku terima kini. Dan itu artinya,
nilai istrinya tidak murah. Bayangkan hutang yang lebih dari 15 juta
rupiah cukup dibayar dengan membiarkan Pakdenya tidur dengan isterinya
selama 3 hari. Dan bukankah sesudah itu dia bisa kembali memiliki Rini
untuk selamanya? Hanya 3 hari, Man!
Pikiran terakhirnya ini
langsung meredakan perasaan marah, sakit dan cemburunya. Dia kembali ke
lubang pengintipan. Tiba-tiba dia merasakan hal yang aneh pada dirinya..
Celananya
langsung berasa sesak. Kini kemaluan Herman ngaceng saat membayangkan
istrinya digauli Pakdenya. Memang terbersit rasa cemburunya kembali,
tetapi dia juga membayangkan bagaimana nanti saat Rini menerima
kenikmatan syahwat yang dilepaskan oleh Pakdenya. Bagaimana nanti dia
mendengar rintihan dan desahan-desahan nikmat Rini sekaligus nafas-nafas
yang memburu dari Pakde Karto. Bagaimana nanti tubuh telanjang Rini
bergesekkan dengan tubuh telanjang Pakdenya untuk bersama-sama mendayung
birahi dan melepaskan dendam-dendam nafsunya. Bagaimana nanti bibir
Pakdenya yang melumati pentil susu istrinya dan sementara kemaluan Pakde
berusaha mencari jalan untuk menembusi kemaluan istrinya. Dan bagaimana
nanti saat kemaluan Pakde, yang dia yakin ukurannya pasti lebih hebat
dari miliknya, menerjang dan merobek bibir kemaluan isterinya. Dan
bagaimana nanti dinding-dinding vagina Rini dirundung rasa gatal
kemudian mencengkerami batangan bulat besar dan panjang milik Pakdenya.
Ah..
sudah, sudah, sudaahh..!! Herman langsung lari keluar kamar. Dia nggak
mau dikejar bayangannya sendiri. Dia menghambur ke taman dimana ada kali
kecil yang mengalir di dalamnya. Dia hendak melupakan segala sakit dan
cemburunya dengan menyibuki diri menangkapi ikan dan udang kecil dari
kali itu untuk dilepaskannya kembali.
Hingga Pakde Karto datang
Rini tidak pernah keluar dari kamarnya. Hari itu sama sekali tak ada
dialog antara Herman dan Rini sebagai suami isteri. Nampaknya Rini
memang menghindar dari kemungkinan dialog itu. Rini pasti kecewa padaku,
demikian pikir Herman. Ah biarlah, yang penting dia sudah mau menuruti
kemauan Pakdenya. Bayangkan seandainya Rini menolak, apa yang akan
menimpa dirinya nanti. Dia bayangkan Satpam Pakdenya yang kekar berotot
itu.
Pakde Karto datang lebih lambat dari janjinya disebabkan
kemacetan lalu lintas saat memasuki gerbang tol Jagorawi. Begitu
mobilnya memasuki halaman Pakde Karto turun dan melemparkan kuncinya
kepada Herman yang telah siap di depan gerbang untuk berlaku sebagai
pengganti pelayannya. Kini dialah yang harus membersihkan atau mencuci
mobilnya sesudah perjalanan yang penuh debu dan kotor dari Jakarta itu.
Dari
dalam rumah nampak Rini yang istrinya memperhatikan perlakuan Pakde
pada suaminya. Tak terbersit sedikitpun keharuan Rini pada Herman. Rini
akhirnya bisa menerima apa yang kini harus dilakukan suaminya. Suatu
imbalan yang setimpal atas kepengecutannya sebagai lelaki maupun sebagai
suami. Dan kini juga ingin menunjukkan pada Herman bahwa kini dia bulan
Rini yang dulu. Dia kini adalah Rini yang bebas dan merdeka yang bisa
mengambil keputusan apapun yang dia mau.
Begitu Pakde Karto
memasuki teras rumahnya, secara menyolok didepan suaminya Rini keluar
dari dalam untuk menyongsongnya. Sambil menebar senyuman dia menggait
lengan Pakde Karto memasuki villanya. Herman hanya bisa mengikuti dengan
ekor matanya. Dan Rini, lihatlah, dia seperti dewi dari surga. Rini
mempersiapkan dirinya secara maksimal untuk menyambut Pakde. Dia memakai
busana yang paling sensual. Nampak dari bahu dan dadanya yang setengah
terbuka. Bahunya yang bidang itu menyajikan pesona sebersit ketiaknya
sedemikian sensual.
Pakde Karto terpana. Dia tidak menduga bahwa
Rini sedemikian antusias menyambut kedatangannya. Sebelumnya dia masih
berpikir bahwa akan ada sedikit atau banyak kesulitan dalam menghadapi
Rini ini. Ada apa? Mungkinkah ini merupakan ungkapan kekesalan Rini pada
Herman suaminya? Ah, .. Pakde Karto tak sempat berpikir jauh. Parfum
Rini telah menyeret naluri syahwatnya terbang ke-awang-awang. Rini
langsung menggelandang Pakde menuju kamarnya. Ah, nanti aku akan
tahulah, demikian acuhnya sambil menyambut rangkulan Rini pada lehernya,
tangan-tangan Pakde merengkuh pinggul Rini.
Mereka kini saling
berpagut. Kehausan bertahun-tahun Pakde Karto pada Rini kini
tertumpahkan. Dan bagi Rini inilah puncak pelampiasan dari tumpukkan
kemarahan, kekesalan dan kekecewaan pada kehidupannya yang telah
beberapa waktu terus menjepit dan menyengsarakannya. Dia terus berusaha
menapaki kehidupan yang baru ini. Tanpa ragu-ragu, tangannya dengan
terampil melepasi ikat pinggang Pakde Karto. Dia ingin selekasnya
menjamah khayalannya. Dia ingin merasakan apa yang pernah dia rasakan
dulu bersama Pandi di pantai Parangtritis. Kalau waktu itu gemuruhnya
ombak Samudra Hindia, maka kini gemuruh nafsu birahi di dadanya yang
akan mengiringi pelampiasan syahwatnya. Gemuruh nafsu birahi Rini dan
kehausan syahwat yang amat sangat Pakde akhirnya bertemu dalam kamar
Villa Rimbun Ciawi ini.
Akan halnya Herman yang telah siap
menerima apapun yang harus dia saksikan. Bahkan kini dia sudah memiliki
solusi. Dia akan ikut menikmati apa yang terjadi dari balik dinding
artistik kamarnya. Dia akan menyaksikan adegan-adegan yang pasti bisa
merangsang birahinya. Dan dia akan bisa meraih kepuasan syahwat juga
seperti mereka berdua. Dan kini kembali rasa sesak langsung memenuhi
selangkangan celananya. Tangannya bergerak membetulkan letak kemaluannya
untuk mengurangi jepitan celananya yang menyakitkan. Sesudah dengan
cepat menyelesaikan tugasnya Herman kembali memasuki kamarnya. Dengan
hati-hati dia mulai mengintip dari celah papan itu dan menyaksikan ulah
Pakdenya bersama Rini isterinya. Nafasnya terdengar memburu sejalan
dengan apa yang dia saksikan melalui celah dinding papan artistik itu.
Dia lihat bagaimana Pakdenya bersama istrinya bercumbu. Nampak celana
Pakdenya telah merosot ke lantai dan tangan istrinya menggenggam
kemaluannya yang gede panjang itu.
“Edan, penis Pakde itu.. penis
kuda.., Duh penis Pakdee.. penis ituu..,” teriakkan histeris dari hati
Herman melihat kemaluan Pakdenya yang membuatnya terpana.
Dia
benar-benar terpesona dengan penis Pakdenya. Dan lebih-lebih lagi saat
menyaksikan tangan indah dan manis isterinya yang biasa memegang
berbagai macam makanan cattering pesanan tetangga itu kini menguruti
batang penis yang berkepala mengkilat kecoklatan. Sementara Pakdenya
dengan buas menyedot dan menggigiti dari leher turun ke susu dan
puting-putingnya hingga membuat Rini menggeliat dan mendesah hebat
sambil matanya merem-melek dan kepalanya tergeleng-geleng dan mendongak
kelangit-langit kamar utama Villa Rimbun Ciawi itu.
Blusnya sudah
lepas entah ke mana. Susu-susunya nampak ranum menggunung dan putingnya
mencuat siap untuk lahapan haus nafsunya Pakde Karto. Sesekali
kedengaran sentakan rintihannya. Itu disebabkan sesekali gigitan Pakde
menyentuhi saraf-saraf peka pada buah dadanya yang sangat ranum itu.
Tanpa
melepas pagutannya mereka bergeser dan bergeser untuk menuju rebah di
ranjang. Masih dalam busana atas yang lengkap dengan dasinya yang
setengah copot, sementara bagian bawahnya sudah telanjang bulat Pakde
Karto menindih Rini. Ditelentangkannya kedua lengan Rini ke atas hingga
kedua ketiaknya terbuka. Kemudian dengan penuh kehausannya Pakde Karto
menyosorkan bibirnya melumati lembah-lembah indah ketiak Rini. Rini
mendesah sambil bergelinjangan menggeliat-liat. Tak diragukan, pasti
akan banyak nampak cupang-cupang bekas sedotan-sedotan ganas pada ketiak
itu nantinya.
Dan kini Herman melihat mereka sambil mulai
mengelusi kemaluannya sendiri. Kupingnya menikmati rintihan atau desahan
istrinya. Sementara tangannya terus mengikuti alur sedotan dan jilatan
Pakde yang turun dari ketiak ke lembah dan bukit di dada Rini isterinya
itu.
Herman agak kesal, posisi Pakde Karto yang mencumbui
istrinya tak nampak jelas disebabkan celah papan ini kelewat sempit.
Yang jelas bisa dia tangkap jelas tinggalah suara-suara penuh iba
nikmat. Betapa rintihan Rini dan dengus Pakdenya saling bersahut telah
membuat dirinya semakin blingsatan karena terbakar birahinya. Tanpa
sepenuhnya dia sadari, dia juga ikut-ikutan melepasi celananya, hingga
tinggal kolornya yang tinggal. Tangannya merogoh kolor itu dan mengurut
dan memijit-pijit kemaluannya. Herman ikut terbawa melayang bersama
Pakde yang sedang melahap rakus isterinya.
Saat turun dari
ketiak, ciuman dan lumatan Pakde meratai lembah dan bukit di dadanya,
Rini nampak menggelinjang hebat. Pinggulnya menggeliat dan meliuk-liuk
menahan kegelian yang amat sangat seperti ikan moa yang terlepas
buruannya dan secepatnya berusaha menangkapnya kembali. Dan Herman juga
semakin kenceng merabai kemaluannya sendiri sementara wajah Pakde Karto
makin merosot ke perut isterinya.
Tak pelak lagi Rini mendesah
keras dan tangannya seakan mengiringi desahannya menangkap kepala Pakde
Karto dan menjambaki rambutnya untuk menahan badai birahinya. Dan Pakde
semakin menggila. Kini bibirnya sudah me-lamuti bulu-bulu kemaluan Rini
dan kemudian meluncur cepat ke bibir vaginanya.
Nampak banget
bagaimana bibir Pakde Karto mencaplok untuk melumati bbir vagina Rini.
Lidahnya yang menjilat sambil menyeruak menusuki vaginanya membuat Rini
histeris. Tingkahnya yang jatuh bangun disertai derasnya desah dan
rintih memaksa Herman mempercepat pijitan dan remasan pada kemaluannya,
bahkan kemudian dengan cepat merubahnya menjadi kocokkan ritmis.
Sambil
terus melototkan matanya untuk menembusi lubang intaian yang sempit,
kocokkan Herman yang semakin cepat nampak seperti pompa piston lokomotif
diesel penarik Parahyangan Ekspres. Herman tak tahan lagi untuk menahan
spermanya. Dan terjadilah orgasme Herman. Yaitu orgasme pertama yang
diraih berkat menyaksikan istrinya meliuk-liuk merasakan hebatnya nikmat
digauli orang lain yang bukan suaminya. Rasanya inilah spermanya yang
paling banyak tertumpah semenjak perkawinannya dengan Rini.
Pakde
secara intensif memberikan kepuasan penuh sensasi syahwat pada Rini.
Dia melakukan oral seks secara habis-habisan padanya. Lidahnya yang
besar dan kasar tentunya menyentuhi organ-organ vagina yang peka dan
lembut mlik Rini. Dan akibatnya tak terkatakan lagi, Rini bak kesetanan.
Tenaganya berubah menjadi sangat kuat. Kedua pahanya yang berposisi
menjepit leher Pakde menekan bahu Pakde untuk menaikkan pinggul dan
mengangkat pantatnya. Tujuannya jelas agar tusukkan lidah Pakde bisa
lebih jauh menembusi lubang vaginanya. Kegatalan yang amat sangat pada
vaginanya itu pula yang membuat kedua tangannya terus menariki kepala
ataupun rambut Pakde untuk lebih menekankan ke arah kemaluannya.
Pakde
yang sangat berpengalaman ‘ngerjain’ para perempuan, tahu bahwa Rini
sudah menunggu penisnya yang kini juga telah melar keras untuk
secepatnya menusuki vaginanya. Dengan akar-akar sarafnya yang mengitari
geligir batangnya serta desakkan darah yang menumpuk pada kemaluannya
hingga membuat sang penis itu membengkak besar dan kepalanya licin
mengkilat, kini Pakde sigap merubah posisi. Ditariknya kedua tungkai
kaki Rini hingga arah vaginanya tepat di pinggiran ranjang. Kemudian dia
angkat salah satu tungkainya untuk disandarkan pada panggulnya di bahu.
Dengan cara itu Pakde mengasongkan penisnya yang sudah matang itu ke
lubang kenikmatan vagina Rini. Sekali.., dua kali..
Herman
kembali mengintip. Sesudah beberapa kali kepala penis Pakdenya yang
besar sedikit kesulitan menembusi vagina istrinya yang sempit. Pada
tusukkan yang kesekian kali disertai desisan panjang dan kemudian
disusul dengan teriakkan nikmat, akhirnya penis gede itu berhasil
menembus vagina Rini istrinya. Bleesszz..
Menyaksikan itu semua
kemaluan Herman cepat kembali menegang. Dan agar menjadi leluasa, Herman
melepas pula celana kolor berikut celana dalamnya. Dan tangannya
kembali mengelusi sambil berharap bisa selekasnya tegak kenceng lagi.
Herman ingin meraih orgasmenya yang kedua. Disaksikannya Pakde Karto
mulai memompa istrinya. Dan Rini sang istri benar-benar tak berdaya oleh
serangan syahwatnya. Sambil meracau dengan ucapan kata-kata erotis
kotor di tengah desisan-desisannya, dia meremasi sprei atau bantal atau
apa saja yang bisa diraihnya hingga ranjang itu berantakkan. Kepalanya
bergoyang keras ke kanan dan kiri sambil melempar-lemparkan rambutnya
yang indah itu.
Dan dari arah lebih tinggi dengan satu kaki
isterinya di panggulannya mata Pakde Karto mengamati tingkah Rini serta
menyimak segala racau dan desisan histerisnya itu. Dia mainkan
pompaannya seakan berputar menyodok ke kanan atau kekiri atau ke atas
atau ke bawah. Itulah ‘multi jurus’-nya Pakde. Dengan cara itu vagina
Rini serasa di-ubek-ubek. Gatalnya tak lagi tertolong. Dan karena itu
pula kini Rini mulai menapaki puncak kenikmatannya. Rini mulai
menyongsong orgasmenya yang sejati. Orgasme yang rasanya belum pernah
dia raih dari siapapun.
Herman tahu, selama ini belum pernah
melihat isterinya sedemikian histeris sebagaimana yang dia saksikan kini
bersama Pakde Karto. Rupanya Pakdenya ini tahu benar apa yang ditunggu
Rini. Dan kini dia sedang suguhkan itu. Dari racau dan geliat serta
menghebatnya remasan-remasan tangannya pada apapun yang dia raihnya,
Rini kini menggelinjang hebat. Pinggulnya dia angkat-angkat
tinggi-tinggi serasa hendak menjeputi kemaluan Pakde agar menusuk lebih
dalam lagi ke vaginanya. Dan ketika akhirnya puncak-puncak itu
benar-benar datang, wajah Rini langsung berubah ganas. Matanya menjadi
nanar tanpa titik pandang. Dengan teriakkan bak hyena kelaparan Rini
bangkit mendorong dan merubuhkan Pakde untuk ganti rebah telentang ke
kasur. Dia ‘cengklak’ tubuh Pakde seperti seorang joki men’cengklak’
kudanya. Dengan gaya seakan hendak duduk tangannya merogoh dan meraih
penis Pakde untuk dia tusukkan ke vaginanya, dan dengan cepat vaginanya
langsung menelan amblas seluruh batangan kemaluan Pakde. Kini Rinilah
pemegang kendali.
Dengan cepat dia menaik turunkan pantatnya
memompakan penis Pakde ke vaginanya. Herman melotot mengamati vagina
Rini yang bisa memuntahkan dan kemudian menelannya kembali kemaluan gede
panjang milik Pakde Karto. Dari arah belakang pantatnya, nampak oleh
Herman bagaimana bibir vaginanya ketarik keluar dan kedorong masuk
terbawa oleh keluar masuknya kemaluan Pakde yang memang sangat sesak dan
sarat memenuhi belahan dan rongga vagina isterinya itu.
Dan
akhirnya datanglah malaikat nikmat itu.. Rini seakan membantingkan
tubuhnya ke tubuh Pakde. Dia menggigit dada dan mencakar-cakar
punggungnya. Vaginanya berdenyut keras menghisap-isap atau melumat-lumat
batang kenyal milik Pakde. Itulah tanda bahwa orgasme beruntun-runtun
sedang melanda Rini.
Mungkin runtunan orgasmenya itu berlangsung
hingga 20 atau 30 detik sebelum akhirnya tubuhnya gugur dan rubuh dengan
keringatnya yang mengucur menindih dan membasahi tubuh Pakde Karto.
Villa Rimbun Ciawi yang sebelumnya berubah menjadi panas oleh radiasi
yang memancar dari tubuh indah Rini kini sejuk kembali.
Dari
balik dinding Herman juga ikutan terkapar bersama tarikan-tarikan nafas
panjangnya. Dimatanya dia menyaksikan Pakde Karto telah menunjukkan
peranannya sebagai pelayan seks yang benar-benar hebat. Herman merasa
banyak belajar dari apa yang dia lihat hampir selama 1 jam ini. Pakde
bisa membaca arah kemana Rini mau. Dia mengejar kepuasan tetapi dia
meyakini kepuasannya akan dia raih apabila Rini, lawannya telah lebih
dahulu terpuaskan. Dan bagi dia, sebagai lelaki, kepuasannya tidak perlu
diraih seketika. Dia masih memerlukan stamina untuk berjalan lebih
panjang. Sebagai lelaki memerlukan stamina macam itu lebih dari
perempuan. Dengan cara itu rupanya Pakde Karto akan menikmati sepanjang
malam pertama ini. Dan Herman mulai mengerti, bagaimana Pakde Karto akan
mampu melayani Rini kapan saja, setiap saat. Dan segala marah, sakit
atau cemburu akan sia-sialah di depan Rini sepanjang dia tidak mampu
melakukan seperti yang Pakdenya bisa lakukan.
Sore itu sesudah
permainan pertama, yang mungkin oleh Pakde hanya dipandang sebagai
pemanasan, mereka berdua mandi bersama. Cukup dengan teriakkannya Pakde
menyuruh Herman untuk menyalakan gas LPJ yang membakar water heater di
kamar mandi utama. Sesudah mandi air hangat, dengan keduanya memakai
mantel tidur lembut yang tersedia di kamarnya Pakde bersama istrinya
bercengkerama di beranda villa. Atas permintaan Rini Herman disuruh
Pakdenya untuk membeli sate kambing di warung sate sebelah villanya.
Malam
itu Rini bersama Pakde menikmati sate kambing panas di meja makan.
Herman mesti sabar menunggu mereka selesai makan untuk bisa ikut
menikmati sate kambing dingin sisa mereka. Dia menerima semua perlakuan
ini dengan sabar dan berpikir positip. Ahh.. Herman.. Herman.., hebat
kau..
Selesai makan Rini dan Pakde pergi ke beranda dan duduk
berhimpit di sofa. Villa bulan madu ini seakan memang dibuat untuk
mereka. Dari balik pot-pot tanaman di samping beranda Herman merunduk
mengintip diantara dedaunannya. Herman yang mentalnya sudah jatuh
menjadi mental pelayan itu melihat bayang-bayang istrinya dalam
rengkuhan Pakdenya kembali. Dia amati betapa asyik istrinya dan Pakdenya
saling berpagut bertukar lidah dan ludah. Dan lihat, betapa agresifnya
si Rini. Tak pernah dia bersikap begitu pada dia selama masa
perkawinannya.
Dia saksikan bagaimana tangan Rini yang demikian
lancar melepasi ikatan tali. Dengan sekali renggut lepaslah temali
mantel tidur itu hingga tubuh Pakde langsung terbuka. Kemudian dengan
rakusnya bibirnya kembali menyambar bibir Pakde Karto sambil tangan
kanannya, tangannya yang cantik dengan jari-jarinya yang lentik itu
meremas dan mengelusi batangan gede penis Pakde Karto. Ah, Rini..
Riniku.., batin Herman yang menangisi isterinya. Rini meliukkan
lehernya. Kepalanya menggiring bibirnya meluncur ke leher Pakde. Dia
memberikan sedotan cupang di seputar leher dan kuduknya. Bulu-bulu Pakde
tegak merinding.
Kecupan dan jilatan itu mendongkrak saraf-saraf
birahinya. Dan bibir seta lindah terus merambat meluncur turun ke
dadanya. Dia kecupi buah dada Pakde dan bibirnya serta lidahnya
menggigit dan menjilati puting-puting susunya. Nampak betapa bibir-bibir
mungil istrinya membuka dan mengatup mengecupi bukit-bukit dada itu.
Sesekali lidahya menjulur untuk menjilati berbagai rasa yang keluar dari
pori-pori tubuh Pakdenya. Kini yang didengar Herman adalah desis Pakde
yang menahan geli birahi akibat ulah istrinya itu. Tak puas-puasnya Rini
menyedoti dada Pakde. Terkadang rambatan bibirnya juga menepi ke kanan
atau ke kiri dada hingga semburat aroma ketiak Pakdenya yang tampan itu
menerpa hidung Rini.
Rambatan ciuman itu terus meluncur turun
keperut Pakdenya. Bulu-bulu halus mulai Rini rasakan di lidahnya.
Bulu-bulu itu tumbuh berkesinambungan dari arah lebih bawah lagi.
Bulu-bulu itu menjadi awal bagi lidah dan bibir Rini memasuki wilayah
kemaluan Pakde Karto. Nampak penisnya yang tegak kaku bak tugu Monas itu
seakan mengganjal leher dan bahu Rini. Dengan pipinya Rini menyisihkan
batang tegak kaku itu untuk membuka jalan menggiring bibirnya terus
turun hingga ke selangkangan Pakde. Beberapa kali Pakde menyibak sebaran
rambut Rini agar tidak mengganggu alur lidah dan bibirnya yang terus
berkecipak menyedot dan menjilat. Dia rasakan sangat nikmatnya bak siput
sawah yang sedang merambati wilayah selangkangannya.
Tentu saja
kini posisi duduk Pakde harus disesuaikan dengan kejaran nikmat bibir
Rini ini. Dia memerosotkan tubuhnya pada bantalan sofa itu untuk
memberikan ruang yang lebih terbuka kepada Rini saat mulai menggarap
kedua selangkangannya. Dan kini wajah Rini benar-benar terjebak dalam
rimbunan bulu kemaluan di seputar selangkangan Pakde Karto. Sesekali
nampak kepalanya menggeleng kecil untuk mendorong agar lidah atau
bibirnya bisa menjangkau pori-pori selangkangan itu.
Nampaknya
Pakde tak mampu menahan kegelian yang melandanya. Dengan kedua tangannya
dia merengkuh dan menjambak rambut Rini. Dia merintih sambil seakan
hendak mencabut-cabut akar rambut itu. Dan rintihan Pakde itu membuat
Rini semakin ganas serta liar untuk meningkatkan serangan birahinya.
Pipinya yang semula digunakan untuk menyisihkan penis, kini dia gunakan
untuk menariknya kembali. Batangan penis Pakde yang tonggak kaku itu
mulai dia jilati. Dia tusukkan lidah lembutnya pada lubang kencing
Pakde. Lubang kencing yang nampak macam belahan jamur merang itu
langsung merah merekah menahan desakan darah syahwat yang menjalari
penisnya.
Betapa nikmat saat lidah menyentuh saraf-saraf peka
pada lubang itu. Gelinjangnya membuat Pakdenya seakan melonjak dari
tempat duduknya. Mungkin itu semacam kekagetan saraf menerima sentuhan
lembut lidah Rini yang sangat merangsang syahwatnya. Dan kemudian Rini
mengkulum seluruh kepala dan batang penis itu. Dia memompa, menyedot,
menjilat, mengkulum tonggak bulat panas yang kaku dan berkilatan dengan
urat-urat yang kasar mengelilingi seluruh geligirnya.
Pemilik tonggaknya mendesah keras dan merintih dalam gelombang nikmat yang datang bertubi. Herman
memperhatikan betapa mata istrinya merem melek menikmati kelakuannya
sendiri itu. Dan juga bertanya, kenapa dia nggak pernah menerima
perlakuan macam itu selama 3 tahun perkawinan ini?? Adakah ini karena
kepiawaian Pakde Karto dalam menggiring birahi Rini? Sehingga membuat
seluruh potensi syahwat istrinya terdongkrak keluar?
Rambut Rini
yang panjang sering menghalangi pandangan Herman pada apa yang sedang
berlangsung. Nampaknya Rinilah yang sekarang ganti memanjakan Pakde
Karto dengan oralnya. Dia ciumi dan jilat bijih-bijih pelir Pakde.
Lidahnya bolak-balik melata merambati pangkal hingga ujung kemaluan yang
tegak kaku itu. Pakde Karto tidak keliru membaca perempuan. Betul-betul
kini dia serasa terbang melayang diangkasa nikmat. Apa yang kini sedang
dilakukan Rini sesuai dengan bacaannya. Rini adalah perempuan seksual
yang sangat galak dan panas. Perempuan dengan betis ‘merit’ macam istri
Herman ini tak mudah dipuaskan. Oleh karenanya pada garapan awal tadi
Pakde Karto pusatkan pada bagaimana Rini bisa cepat disambar syahwatnya
hingga tinggal kehendaknya sendirilah yang akan mendorong cepat atau
lambat datangnya orgasmenya. Dan itu sudah terjadi.
Kini
perempuan ini sudah kembali menimba birahinya. Kenikmatan orgasme
beruntun yang dia rasakan tadi membuatnya ketagihan. Lihat, kini dia
akan berusaha orgasmenya berulang kembali. Dia pikir dengan merangsang
penisnya Pakde Karto akan cepat mengejar nafsunya. Dan harapan Rini
untuk digenjoti lagi oleh Pakde akan kesampeyan. Tetapi dia keliru.
Pakde Karto bukan anak kemarin sore. Dia bukan Herman. Kenikmatan yang
kini diberikan Rini akan di ‘follow up’ di mulut Rini sendiri. Kini
Pakde sedang mengamati dengan penuh nafsu bagaimana mulut cantik mungil
Rini mengecupi penisnya. Dia mengamati bibir-bibir seksi istri Herman
ini berkecipak melahap batang penisnya. Dia ingin bibir ini nantinya
belepotan oleh semprotan spermanya. Dia ingin sekali menumpahkan air
maninya ke mulut Rini. Dia pengin menyaksikan bagaimana Rini menenggak
cairan kentalnya. Ya, dia ingin sekali. Bahkan dia mungkin akan sedikt
paksa Rini untuk menjilati cairan kentalnya yang tercecer. Itulah nafsu
hewaniah Pakde Karto yang kini merundung dirinya. Tangan-tangannya
kembali mengelusi lembut kepala Rini, sementara khayalan birahinya
terbang melesat ke awang-awang untuk menjemput puncak-puncak nikmatnya.
Dia mulai mengerang dan mendesis. Dan Rini terjebak.
Dia menikmati erang dan desis Pakde dengan cara lebih meliarkan jilatan dan gigitan-gigitannya. Tetapi
situasi berikutnya berubah. Kendalinya terlepas dan diambil alih Pakde
Karto. Tanpa mau melepas rengkuhan Rini pada penisnya Pakde bangkit dari
sofa empuk itu. Dibimbingnya Rini untuk naik kesofa dengan kepalanya
bersandar pada ke bantalannya. Dengan penisnya yang tak pernah lepas
dari mulut lembut Rini, kini posisi Pakde berada di atasnya dengan
selangkangnnya mengangkang di atas dada Rini. Sementara Rini masih
berpikir bahwa sesaat lagi Pakde akan merambati tubuhnya untuk
menusukkan kembali kemaluannya pada vaginanya.
Tetapi sekali lagi
harapan Rini ini keliru. Kini Pakde seperti sedang kerasukan nikmat dan
merasakan bagaimana seakan spermanya datang dari seribu arah menjalari
berjuta saraf-saraf di seputar selangkangannya untuk meledak dan tumpah
di mulut Rini. Dan ketika batas batas sarafnya telah terlanggar oleh
birahi, dengan suara erangan yang keras dari mulutnya dengan disertai
tangan-tangannya yang kuat menekan kepala Rini agar tetap terpaku di
sofa selama penis Pakde tetap menghunjam-hunjam ke rongga mulut Rini,
Pakde telah siap menyemprotkan air maninya ke mulutnya. Dan Rini memang
tak lagi mampu berkutik. Tekanan tangan Pakde terlampau kuat untuk
ditolak. Akhirnya dia menyadari apa yang Pakde mau. Dia langsung pasrah.
Bahkan selintas dia sempat berpikir tentang Herman. Biarlah Herman
menyaksikan apa yang memang dia harus saksikan.
Sperma Pakde
tumpah ruah menyemprot membanjir memenuhi mulutnya. Anggukan-anggukan
penis Pakde menandai setiap semprotan spermanya. Mulut manis mungil Rini
tak mungkin menampung seluruhnya. Sebagian tertelan membasahi
tenggorokannya, sebagian lainnya muncrat tercecer ke dagunya, dadanya
dan juga ke jok kulit sofa buatan Italy itu. Saat akhirnya Rini
benar-benar menjilati sperma yang tercecer dia ingat kembali saat
bersama Pandi di Parangtritis itu. Dan Pakde Kartopun terpenuhi
harapannya.
Herman terbengong-bengong menyaksikan bagaimana nafsu
liarnya Rini di atas sofa bersama Pakde Karto itu. Benar-benar tak
habis mengerti, bahwa Rini yang kesehariannya cantik dan lembut itu bisa
berubah menjadi malaikat seks yang dengan ganas membawa prahara birahi
untuk menenggelamkan nafsu Pakdenya kedalam nikmat syahwat yang tak
pernah dia berikan pada siapapun sebelumnya. Pakde Karto merasa bahwa
menganggap lunas hutang suaminya amat sepadan dengan apa yang di berikan
Rini kepadanya. Dielusinya dengan penuh kasih sayang kepala Rini yang
kini bersandar di dadanya. Pakde mendapatkan kepuasan yang luar biasa
dengan hadirnya Rini ini.
Dari balik pot-pot yang tidak jauh dari
sofa Pakde dan istrinya Herman terduduk loyo. Sekali lagi ia semakin
tak mampu berkilah lagi. Kepengecutannya sebagai lelaki membuat semakin
tak mungkin mampu menyaingi kelebihan Pakdenya. Kesalahannya yang
membuat tenggelam dalam judi togel itu membuat dia benar-benar tak lagi
merasa punya hak untuk marah maupun cemburu. Dia akan sepenuhnya
menerima apa yang dilakukan Pakde pada isterinya. Dari berbagai sudut
dia sudah salah dan kalah total. Apalagi nampaknya Rini sendiri akhirnya
demikian menikmati hubungannya dengan Pakde. Mungkin juga bagi Rini
Pakde lebih bisa memberikan kepuasan nafsunya dibanding dia. Ya,
sudahlah..
Yang kini masih dia miliki adalah hak untuk ikut
menikmati. Dia jadi begitu menyala birahinya kalau melihat isterinya
di’entot’ orang lain. Dia sangat terobsesi saat melihat wajah isterinya
begitu histeris oleh kenikmatan syahwat yang diterima dari Pakde. Dia
sangat terobsesi pula saat melihat isterinya begitu rakus menjilati dan
minum air mani Pakde Karto. Rasanya Herman juga ikut merasakan bagaiman
lendir hangat Pakdenya mengalir membasahi tenggorokan isterinya. Dan
lepas dari semua hal itu, yang benar-benar melegakan Herman sekarang
adalah lunasnya hutang-hutangnya dari Pakde Karto. Dia kini siap
menjalani hidup baru tanpa beban hutang-hutang. Dia kini bertekad untuk
tidak lagi main togel. Dia akan mencoba menepis godaan teman-temannya.
Atau mungkin dia tak akan bergaul lagi dengan mereka. Karena merekalah
kini Herman merasa sengsara. Dan nyatanya pada saat seperti ini mereka
tak mampu membantu apapun.
Terlihat Pakde dan isterinya bangkit
dari sofa menuju ke kamarnya. Adakah mereka akan melanjutkan
permainannya. Sangat mungkin. Bukankah situasi macam begini yang Pakde
impikan sejak pertama kali beberapa waktu yang lalu dia melihati Rini
tanpa berkedip. Dan bagi Rini, bukankah lelaki macam Pakde ini yang
telah terbukti bisa memuaskan syahwat birahinya?!
Dan bagi
Herman, apa yang bisa dibuat selain kembali ke lubang pengintaian di
balik dinding kamarnya?! Rupanya sate kambing tadi telah memberikan
semangat dan kekuatan pada semua orang. Dari kamarnya Herman melihat
Rini langsung rebah ke ranjang. Dalam jubah tidurnya yang nyaris tak
dipakai secara utuh, Rini setengah tengkurap memeluki bantalnya. Nampak
kaki dengan paha dan betisnya yang tersingkap dari pakaiannya terjuntai
ke tepian ranjang. Dan Pakde dengan jubah tidurnya yang telah terbuka
pula siap menyusul. Tetapi tidak. Pakde tidak menyusul naik ke ranjang.
Pakde kini simpuh di lantai tepat di ujung kaki Rini. Apa yang akan dia
lakukan? Ah, ini sangat menarik, pikir Herman.
Pakde pelan
menjamah kemudian mengelusi kaki Rini. Dia raba betisnya yang ‘merit’
itu. Kemudian nampak kepalanya menunduk. Pakde mencium kaki Rini.
Mencium telapak kakinya. Menciumi kemudian menjilati. Kemudian juga
mengulumi jari-jari kakinya. Jari kaki Rini yang selalu terawat apik itu
demikian indahnya dalam kuluman Pakde. Dan Rini seakan kena stroom
ribuan watt langsung berteriak mendesisi-desis.
Dia
terbangun-bangun menahan geli yang menjalari kakinya. Tanpa terpengaruh
oleh ulah isterinya nampak Pakde sangat tenang. Ditahannya dengan
tangannya yang kuat kaki-kaki Rini sehingga berontaknya tidak membuat
lepasnya kaki dalam pagutannya. Jilatan dan kuluman bibir dan lidah
Pakde semakin meratai telapak kaki dan mulai naik ke betisnya. Gelinjang
nikmat membadai menghempas-hempaskan gelegak nafsu Rini. Bibir Pakde
terus melata hingga lutut dan siap memasuki wilayah paha belalang Rini.
Ya, paha ini dulu sangat terkenal. Saat Rini bermain volley dalam
pertandaingan antar SMU, paha Rinilah yang selalu membuat para siswa
lelaki meneteskan air liur. Anak-anak SMU bilang ‘paha dan betis
belalang Rini’ selalu terbawa dalam mimpi mereka. Mungkin maksudnya saat
anak-anak itu masturbasi khayalannya terbang menciumi paha Rini.
Dan
paha itu kini bukan dalam impian Pakde. Paha itu kini nyata dalam
rengkuhannya. Pakde mengecupi dan menjilat setiap sentimeter areal paha
Rini. Duh, bukan main gatalnya. Ciuman Pakde dari mulut dan pipi serta
dagunya yang bercukur bulu-bulu pendeknya begitu menggelitik sanubari
Rini. Gatalnya telah manembus ke hulu hatinya. Rini kelabakan kewalahan
menahan derita gatal nikmatnya. Dia menjerit-jerit minta Pakde
melepaskannya. Kakinya menendang menolak tubuh Pakde.
Tetapi mana
mungkin. Tubuh Pakde telah sempurna menindih dan tangannya menjepit
dengan kuatnya. Aroma yang menebar dari paha Rini membuat tenaga Pakde
semakin kukuh untuk tetap menguasai tingkah Rini. Tidak akan ada kata
menyerah. Dan jilatan Pakde itu merambah terus hingga ke selangkangan
Rini yang ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang sangat lembut. Pakde merem
melek saat lidah dan bibirnya melumat-lumat selangkangan Rini. Dan tak
ayal lagi, rambahan itu sampai ke lubang vaginanya. Namun Pakde tidak
melanjutkannya. Dia hanya mampir sejenak untuk kemudian dengan tangannya
mendorong balik tubuh Rini hingga posisinya tengkurap di kasur.
Kini
nampak pantat Rini yang menjumbul dengan indahnya. Pakde sudah
kesetanan. Wajahnya langsung nyungsep ke belahan pantat Rini. Dia
menjilati lubang duburnya. Tentu saja hal ini membuat Rini tersentak.
Bagi Rini lubang dubur adalah hal yang sangat tak senonoh untuk
didekati, apalgi dicium atau bahkan dijilati macam yang dilakukan Pakde
pada dirinya sekarang ini. Tabu, katanya. Pemali, orang bilang. Tetapi
tidak bagi Pakde Karto. Jilatannya terasa ‘keri’ menusuk-nusuk lubang
pantat Rini. Bahkan dengan tenaganya dia mengangkat pinggul Rini
sehingga dia berposisi nungging. Pantatnya lebih menonjol dengan lubang
duburnya tepat di arah wajah Pakde. Rini yang belum sepenuhnya mau
menerima ulah Pakde yang tabu berontak mati-matian untuk menghindarkan
Pakde menciumi pantatnya. Dia berusaha bangun sambil, “Tidaakk.. jangaann.. jangaann..”
Tetapi
larangannya itu justru semakin memicu kehendak nafsu Pakde Karto. Dia
cepat berpikir bahwa pantat Rini masih pantat perawan. Kalau dulu Herman
merawani vaginanya, kini dia berkesempatan merawani lubang pantatnya.
Dia telikung Rini dengan sekuat tenaganya. Dia pegang erat-erat
pinggulnya sambil mulutnya tidak melepaskan sedotan-sedotan pada lubang
anal yang perawan itu. Dan Pakde sangat kuat. Rini tak mampu melawannya.
Perasaan tabunya membuat Rini ketakutan. Tetapi yang dia bisa perbuat
sekarang hanyalah menangis sambil memohon, “Jangaann Pakdee.. ampuunn, jangaann.., ampuunn Pakdee..”
Apapun
rintihan Rini tak lagi didengarnya. Ini sudak perkosaan. Dari balik
dinding Herman juga mengutuk Pakdenya. Isak tangis istrinya benar-benar
membuatnya iba. Akankah Pakde menyakitinya? Apa yang bisa dia perbuat
untuk membantu Rini? Dan ternyata itu baru awal dari hal berikutnya yang
akan membuat tangis Rini serasa tak berkesudahan.
Ciuman Pakde
bergeser ke atas. Pinggul Rini dilumat-lumatnya. Juga punggung kemudian
bahu dan kuduknya. Rini yang masih terisak kembali menemukan
gelinjangnya. Tetapi itu tak lama. Di bawah sana penis Pakde yang
demikian hebat ukurannya terasa mendesaki bokong Rini. Rini puny
firasat. Sekali lagi dia berontak untuk mencegah nafsu setan Pakde
Karto. Tetapi sekali lagi Pakde Karto mampu membuat isteri Herman itu
tak berdaya.
Kini rambut Rini yang terurai dijambaknya. Dia
gunakan rambut Rini ibarat tali kekang kuda. Dia hela rambut itu
kebelakang sementara penis itu mulai menumbuk-numbuk lubang anal Rini.
Rasa sakit yang hebat menimpa Rini. Lubang analnya serasa dicolok dengan
kayu menyala, Panas dan sakitnya bukan main. Beberapa kali Pakde
melumasi dengan ludah pada penisnya agar bisa menembus dengan lubang
anal Rini. Memang ada kemajuan. Tetapi apa yang dirasakan Rini? Setiap
mili kemajuan penis itu masuk menembus analnya, kepedihan tak terkatakan
datang menjemput.
Dan disinilah dramatiknya. Akhirnya penis itu
memang tenggelam tertelan anal Rini, tetapi akibatnya Rini kelenger,
pingsan. Pakde tahu, tetapi dia sangat tenang. Dia bisa mengendalikan
dirinya. Tanpa melepaskan kemaluannya pada lubang itu, dia raih
wewangian aroma terapi yang tersedia di meja samping ranjang. Dia
kecroti hidung Rini dengan wewangian itu. Dan, ah manjur benar. Rini
terbangun dan langsung kembali menangis karena menahan rasa sakit di
pantatnya. Dia tak lagi menolak karena pasti hanyalah sia-sia. Justru
tolakannya semakin merangsang nafsu setannya Pakde. Dan Pakde sendiri
berusaha sabar.
Untuk beberapa saat dia tidak bergerak. Pikirnya,
biarlah Rini menyesuaikan diri dulu, dimana penisnya kini sedang
menghunjam ke dalam pantatnya. Dia hanya peluki punggung Rini sambil
merajuk dan mencumbu. “Nggak apa-apa Rin, jangan takuutt.. nanti
ennaakk.. jangan takutt..” sedu sedan Rini masih terdengar.
Kembali
ke Herman yang kini mengutuk habis-habisan ulah Pakdenya. Tetapi mana
berani dia menyampaikan kutukkan itu hingga ke kuping Pakdenya. Yang ada
tinggal rasa cemas dan semakin merasa betapa semua itu karena kesalahan
dirinya. Rini telah menjadi korban tingkah lakunya yang pengecut.
Ooo.., kenapa jadi beginii..??!!
Aneh, ternyata cumbuan Pakde
Karto seperti menyihir Rini. Isakan tangisnya tak lagi terdengar.
Walaupun masih sering terdengar kata “Aduuhh, sakiitt.., yang
pelaann..” namun tak ada uapaya menolak dari Rini saat Pakde kembali
menggoyang kemaluannya pada anal isteri Herman itu. Dan setelah beberapa
saat kemudian goyangan Pakde berubah menjadi pompaan sebagaimana dia
memompa vaginanya, Rini sama sekali tidak mengaduh tetapi, nah
lihatlah.. Herman melotot keheranan.
Kini dia menyaksikan
isterinya mengimbangi goyangan saat penis panjang Pakde menusuki
pantatnya. Ternyata Rini dengan cepat memahami kenikmatan yang
dijanjikan Pakde Karto. Bahkan ketika beberapa kali penis itu copot dari
analnya, tangan Rini dengan sigap menjemputnya kembali untuk diarahkan
tepat ke lubang duburnya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat
atraktip. Seorang dewi cantik manis dalam posisi menungging dia atas
ranjang beralaskan sutra melengkungkan pinggulnya untuk mengangkat
tinggi-tinggi pantatnya. Sementara di arah belakang seorang lelaki gagah
sedang menusuk-tuskkan penis monsternya ke arah lubang pantat sang
dewi. Kini Herman mempercepat kocokkan tangannya. Dia ingin meraih
orgasmenya, entah untuk yang keberapa kali sejak sore tadi, saat
menyaksikan pemandangan yang sangat atraktip itu.
Pakde Karto
benar-benar nampak seperti joki. Kuda betina cantiknya diraih surainya.
Dia memompa Rini sambil menarik rambutnya sebagai tali kekang. Dan
ketika nafsu-nafsu menjemputi puncak-puncaknya. Ketika Rini merasakan
betapa benar kata Pakde bahwa dia akan menerima kenikmatan yang kini
sedang menapaki puncaknya. Ketika Herman dari balik dinding tak lagi
merasakan lecet-lecet pada kulit kemaluannya karena kenikmatan puncak
sedang merambatinya. Dan ketika Pakde Karto tak lagi mampu menahan
sperma untuk tidak tumpah, dan bahkan kini telah berada di ambang
nikmatnya yang paling tinggi.
Maka badai gaduh, jerit, desah dan
rintih pada berhamburan. Mulut Rini menjerit dalam rintihan menahan
gelora birahi sambil pantatnya dengan kencang maju mundur menjemputi
kemaluan Pakde Karto. Dan Herman dari balik dinding merintih tertahan,
karena khawatir tertangkap basah, sambil mempercepat koncokkan penisnya
yang juga ngaceng berkilatan. Pakde Karto sendiri yang bagai serigala
lapar sedang mengejar mangsa, meracau dan mendesah keras-keras menjemput
spermanya yang .. naahh.. achirnyaa.. tak tertahan.. tumpah ruah.
Pantat
Rini masih terus menjemputi, penis Pakde masih memompa, tangan Herman
semakin menambah guratan-guratan pedih sebelum ketiganya tumbang, roboh.
Rini dan Pakde bergelimpang di ranjang beralaskan sutera. Tetapi Herman
bergelimpang di lantai dingin di kamarnya sendiri. Herman langsung
tertidur. Hari ini begitu banyak hal yang sagat melelahkan. Tekanan
fisik dan mental serta kesenangan birahi silih berganti. Dia terbangun
saat matahri telah tinggi. Dia kaget geragapan. Pakde Karto pasti akan
marah, pikirnya. Tetapi hal itu tak terjadi. Pakde Karto bersama Rini
semalaman merguk kenikmatan madu. Mereka baru usai dan tertidur
menjelang subuh. Kini nampak oleh Herman dari balik dinding, isterinya
dalam pelukan Pakde Karto meringkuk dalam selimut tebal. Herman yakin
mereka sama-sama bertelanjang.
Herman menjerang air untuk membuat kopi. Dia perlu ngopi. Dia juga membuat kopi untuk yang sekarang masih tidur dalam pelukan.
Perpisahan
Akhirnya
Herman terbuka pikirannya. Dia akan dan harus meninggalkan Rini. Tak
mungkin lagi baginya merintis dan memperbarui hubungan suami isteri
dengan Rini. Hal itu dia yakini akan baik untuk dirinya dan juga baik
untuk Rini. Dan dia merasa tak perlu bertanya setuju atau tidaknya pada
Rini. Keputusan dia memang sepihak, tetapi itu sudah merupakan keputusan
final. Mana mungkin, seorang isteri telah melakukan hubungan seksual
dengan penuh nikmat dan sukacita, sementara tahu persis suaminya berada
di kamar sebelahnya. Apapun alasannya.
Herman juga yakin Pakdenya
bisa menerima jalan pikirannya. Dan bahkan mungkin setengahnya
bersyukur. Bukankah dia sangat tergila-gila pada Rini. Dan kini
kehendaknya telah kesampaian. Dan Pakde Karto menujukkan kepuasannya
yang luar biasa. Siapa tahu, Pakde Karto akan meneruskan keinginannya
untuk melamar dan kemudian menikahi Rini.
Pagi yang sangat cerah
di Villa Rimbun Ciawi yang sejuk. Pagi itu kedua insan yang sedang
mengumbar nafsu syahwatnya kembali saling bercumbu. Mereka menikmati
udara segar dan cahaya matahari pagi yang hangat. Dengan latar belakang
dedaunan pakis, pohon pinus dan gemericiknya kali kecil yang aitnya
jatuh ke bebatuan Pakde Karto menuntun Rini ke rimbunan tanaman hias
yang penuh bunga. Wewangian bunga-bunga yang warna-warni itu
mengantarkan mereka terbang mengawang-awang nikmat syahwat dan birahi
tanpa batas. Lama mereka berpagut. Saling kecup dan jilat pada
bagian-bagian tubuh mereka yang paling merangsang nafsu dilakukan di
kebun indah di belakang villa itu.
Pakde Karto tak puas-puasnya
menggeluti Rini yang isteri orang lain itu. Dan sebaliknya Rini yang tak
pernah lagi memikirkan Herman suaminya tak lelah-lelahnya melakukan
tingkah untuk merangsang syahwat Pakdenya. Dia memang benar-benar
perempuan panas yang selalu ingin hubungan seksual dengan lelaki perkasa
ini. Dia merasakan betapa Pakde mampu menggali seluruh rahasia nikmat
syahwat yang ada pada dirinya. Kini Rinilah yang tergila-gila pada Pakde
Karto. Dia bersedia melakukan apapun yang akan diminta Pakde. Bahkan
sebagaimana yang kini terjadi. Pakde menggelandang Rini untuk berasyik
masyuk di dalam taman Villa Rimbun Ciawi yang sejuk dan indah ini.
Mereka kini telah bergulingan di atas matras yang sebelumnya telah
disiapkan Herman atas permintaan Pakdenya.
Dan Herman juga baru
tahu apa maksud permintaan Pakde Karto untuk menggelar matras tadi.
Tetapi Herman sekarang juga bukan Herman yang kemarin. Walaupun di depan
matanya kini dia saksikan isterinya Rini bergelut nikmat bersama Pakde
Karto, dia tidak lagi terbawa emosi. Yang dia pikirkan sekaranga adalah,
“Pergi.., pergi, pergi, pergi, pergi..!!”
Begitulah. Herman
telah berketatapan untuk meninggalkan semuanya. Meninggalkan isterinya,
meninggalkan Pakde yang telah menghancurkannya dan dia juga akan
meninggalkan judi togel. Selamat tinggal masa lalu!
Sementara Pakde bersama Rini sedang mendayung kenikmatan, Herman menyelinap. Dia pergi tanpa pesan. “Mereka akan tahu, tanpa harus kuucapkan,” demikianlah tekad dan keyakinannya.Cerita Dewasa 17 tahun, kumpulan cerita dewasa, cerita panas
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar