“Jangan kak Nita, Rangga malu..”,
katanya. Dasar saya yang nakal, saya pelototin matanya, Rangga langsung
diam, dan tanganku leluasa memegang barang tersebut.Wah hot banget kan
cuplikan cerita diatas pengen tau lanjutannya ikuti kisah berikut pasti
pada tegang kontholnya.
Pemilu 7 Juni 2004, yang baru saja lewat
bagi sebagian orang kesannya penuh nuansa politis. Tetapi bagi saya,
kesan sangat jauh berbeda, bahkan tidak akan pernah terbayangkan akan
bermakna demikian dalam bagi saya pribadi. Kesan yang penuh sensualitas
dan menggairahkan.
Saat itu, 7 Juni, rumah saya sedang
sepi. Maklum pemilu, padahal biasanya ramai sekali. Satu rumah dihuni
tujuh orang, ayah, ibu, kakak laki-laki saya yang masih kuliah, saya
sendiri SMA kelas tiga, baru saja selesai Ebtanas dan lulus. Kemudian
adik perempuan saya kelas lima SD, lalu sepupu laki-laki saya kelas dua
SMP dan pembantu satu orang. Oh iya, panggil saja saya Nita, asli
Tolaki.
Jadi pada saat pemilu rumah yang berada
di kawasan Perumahan Pemda Kampung Kemah Raya, Kendari jadi sepi sekali.
Ayah ke Kolaka, mengurus pemilu di sana, kebetulan juga beliau caleg
untuk daerah tersebut. Kakak saya jadi pengawas pemilu untuk UNFREL
Kendari, ibu saya jadi panitia pemilu lokal kawasan Kemah Raya. Pembantu
dan adik, disuruh bantuin ibu mengurus konsumsi. Praktis yang jaga
rumah, saya dengan sepupu saya yang bernama, Rangga. Saya belum ikut
memilih, belum cukup umur, baru 16 tahun lebih dua bulan. Saya dengan
Rangga sangat akrab, habisnya dia ikut dengan keluarga saya sejak masih
kelas satu SD, dan selalu menjadi teman main saya.
Senin itu, 7 Juni 2004, badan saya pegal
sekali, selesai ngepel dan membersihkan rumah. Dan seperti biasa saya
kepingin dipijitin. Biasanya sih oleh ibu, dan Rangga juga, habis dari
kecil saya sudah biasa menyuruh dia. Karena agak pegal, saya panggil
saja Rangga untuk mijitin, Rangga nurut saja. Saya langsung berbaring
telungkup di karpet depan TV, dan Rangga mulai memijit tubuhku. Asyik
juga dipijit oleh Rangga, tangannya keras sekali, punggungku jadi fresh
lagi.
“Duh, Rangga…, mijitnya yang lurus dong, jangan miring kiri miring kanan..”, kataku.
“Abis, posisinya nggak bagus kak”, jawabnya.
“Kamu dudukin aja paha Kak Nita, seperti biasa…”.
“Tapi…, kak..”.
“Alah.., nggak usah tapi…, biasanya kan juga begitu…, ayo..”, Saya tarik tangan Rangga memaksanya untuk duduk di pahaku, seperti kalau dia memijit saya pada waktu-waktu kemarin.
“Abis, posisinya nggak bagus kak”, jawabnya.
“Kamu dudukin aja paha Kak Nita, seperti biasa…”.
“Tapi…, kak..”.
“Alah.., nggak usah tapi…, biasanya kan juga begitu…, ayo..”, Saya tarik tangan Rangga memaksanya untuk duduk di pahaku, seperti kalau dia memijit saya pada waktu-waktu kemarin.
Rangga akhirnya mau, duduk dan
menjadikan kedua pahaku dekat pantat sebagai bangkunya, dan mulai lagi
ia memijit sekujur punggungku. Tapi, pijitan agak lain, makin lama makin
saya rasakan tangannya agak gemetaran dan nafasnya agak ngos-ngosan.
“Kamu kenapa Rangga, capek atau sakit..?”, tanyaku.
“Tidak, tidak apa-apa kak”, jawabnya. Akan tetapi duduknya mulai tidak karuan, geser kiri dan kanan, sementara pantatnya seperti tidak mau dirapatkan di pahaku, agak terangkat.
“Tidak, tidak apa-apa kak”, jawabnya. Akan tetapi duduknya mulai tidak karuan, geser kiri dan kanan, sementara pantatnya seperti tidak mau dirapatkan di pahaku, agak terangkat.
Akhirnya, saya menyuruhnya pindah, dan saya bangun, lalu duduk mendekati, biasa bermaksud menggoda.
“Ayo.., kamu kenapa, ini pantatmu, selalu diangkat.., tidak biasanya”, sambil tanganku bermaksud mencubit pantatnya.
“Tidak, tidak apa-apa kak..”, jawabnya sambil menghindari cubitanku, malah tanganku tersenggol celana
“Tidak, tidak apa-apa kak..”, jawabnya sambil menghindari cubitanku, malah tanganku tersenggol celana
bagian selangkangannya yang seperti agak
tertarik kain celananya dan agak menonjol, melihat itu timbul rasa
isengku, karena memang saya dan Rangga kalau main seperti anak-anak yang
masih TK, asal ngawur saja.
“Loh.., itu apa di celanamu Rangga, kok
nonjol begitu..” Mendengar itu Rangga merah padam mukanya, lalu ia
berdiri ingin lari menghindar dari saya, tapi segera kutarik tangannya
untuk duduk, dan tanganku yang satu menggerayangi celananya memegangi
dan meraba benjolan tersebut.
“Jangan kak Nita, Rangga malu..”,
katanya. Dasar saya yang nakal, saya pelototin matanya, Rangga langsung
diam, dan tanganku leluasa memegang barang tersebut.
Penasaran, saya buka resliting celananya
dan menarik keluar barangnya yang mengeras tersebut, dan astaga,
ternyata penis Rangga sudah menegang. Baru kali ini saya melihat penis
milik orang yang bukan anak-anak dan sudah disunat yang tegang dan keras
serta panjang seperti itu. Sementara Rangga diam saja, kepalanya hanya
menunduk, mungkin malu atau bagaimana saya tidak tahu.
Saya acuh saja, perlahan-lahan,
kuelus-elus penis Rangga, semakin mengeras penisnya hingga urat-uratnya
seperti mau keluar. Kudengar Rangga mendesah tertahan. Lalu kuurut-urut
sambil kupijit kepala penisnya yang merah itu, Rangga makin mendesah,
“Ah.., ah..”
Kugenggam erat penis
Rangga dan kukocok-kocok dengan perlahan, semakin lama semakin kencang.
Badan Rangga ikut menegang, sambil kepalanya terangkat ke atas menatap
langit, mulutnya terbuka, dia mulai agak mengerang, “Achh..”.
Semakin kencang penis Rangga kukocok,
semakin menggeliat badan Rangga membuat saya tersenyum geli melihatnya.
Sampai erangan Rangga makin mengeras, “Ach.., achh..”. Dan badannya
makin menggeliat, hingga mungkin tidak tahan…, ia lalu memelukku erat.
Mulanya saya kaget akan reaksinya, tapi saya biarkan saja, karena
keasyikan mengocok penis Rangga. Rupanya Rangga sudah semakin
menggeliat, hingga tangannya entah sadar atau tidak ikut menggeliat
juga, meraba badanku dan payudaraku.
“He Rangga…, kenapa..” tegurku, sambil
tetap mengocok penis Rangga, “Achh…, achh..” Hanya itu yang Rangga
bilang, sementara tangannya meremas-remas payudaraku, dan remasannya
yang kuat membuatku merasakan sesuatu yang lain, hingga saya biarkan
saja Rangga meremas payudaraku, dan Rangga lalu menyingkap baju kaos
yang kupakai, hingga kelihatan BH-ku dan meremas payudaraku lagi hingga
keluar dari BH-ku.
“Acchh…, accchh” erang Rangga, saya
mulai merasakan kenikmatan tersendiri pada saat payudaraku tidak
terbungkus BH diremas oleh tangan Rangga dengan kuat, sedangkan penisnya
tetap saja kukocok-kocok. Dan entah naluri apa yang ada pada Rangga,
hingga dia nekat menyosor payudaraku dan mengisap putingnya seperti anak
bayi yang sedang menyusu.
“Aduh…, Rangga…, aduhh” Hanya itu yang
mampu kuucapkan, payudaraku mulai mengeras, keduanya diisap secara
bergantian oleh Rangga.
Saya juga mulai menggeliat, kutarik
kepala Rangga dari payudaraku, lalu kudekatkan ke wajahku, kucium
bibirnya dengan nafsu yang muncul secara tiba-tiba, Rangga balas
mencium, bibir kami berdua saling memagut, lidah bertemu lidah saling
mengadu dan menjilati satu sama lain.
Tangan Rangga menggerayangi badanku,
melepaskan baju dan BH-ku, hingga aku bugil sebatas dada. Kulepaskan
juga baju yang dipakai Rangga, dan kupelorotkan celananya, hingga Rangga
bugil tanpa sehelai benangpun, dan kembali kukocok penisnya, sedangkan
Rangga kembali menyosor payudaraku yang sudah keras membukit.
Perlahan tangan Rangga menelusuri rokku
lalu menyelusup masuk ke dalam rokku, “Acchh…, Accchh”, Saya dan Rangga
terus mengerang dan menggelinjang. Tangan Rangga menyelusup ke dalam
CD-ku, lalu mengusap-ngusap vaginaku.
“Aduuuhh…, Rangga..” erangku, sementara jarinya mulai ia masukkan ke dalam vaginaku yang mulai kurasakan basah, dan Rangga mempermainkan jarinya di dalam vaginaku.
“Aduuuhh…, Rangga..” erangku, sementara jarinya mulai ia masukkan ke dalam vaginaku yang mulai kurasakan basah, dan Rangga mempermainkan jarinya di dalam vaginaku.
“Accchh…, aduuuhh…, acccchh..”. Tak
tahan lagi, Rangga menarik lepas rok dan celana dalamku, hingga akhirnya
saya kini telanjang bulat. Kemudian Rangga mencium bibirku dan saya
tetap mengocok penisnya, sedangkan jarinya bermain dalam vaginaku.
“Accchh..” Hanya erangan tertahan karena
tersumbat bibir Rangga yang keluar dari mulutku. Kemudian Rangga
berhenti menciumku, lalu ia mengambil posisi menindih badanku, saya
membiarkan saja apa yang akan Rangga lakukan, karena kenikmatan itu
sudah mulai terasa mengaliri pembuluh darahku. Dan, tiba-tiba saya
rasakan sakit yang teramat sangat di selangkanganku.
“aaccccchh, Rangga.., apa yang kau
lakukan..”, tanyaku. Tapi terlambat, rupanya Rangga sudah memasukkan
batang penisnya ke dalam vaginaku, dan seperti tidak mendengarkan
pertanyaanku, Rangga mulai mengoyang batang penisnya naik turun dalam
vaginaku yang semakin berlendir dan mulai terasa basah oleh aliran darah
perawanku yang mengalir membasahi vaginaku.
“Accchh…, Rangga…, aduuhh Rangga..”, erangku.
“Accchh…, Rangga…, aduuhh Rangga..”, erangku.
Badanku semakin menggelinjang, kujepit
badan Rangga dengan kedua kakiku sementara tanganku memeluk erat dan
menggoreskan kukuku di punggung Rangga. Semakin kencang goyangan penis
Rangga dan semakin keras pula erangan kami berdua.
“Accch…, aduhh..” Hingga akhirnya
kurasakan sesuatu yang sangat nikmat yang terdorong dari dalam…, dan
erangan panjang saya dan Rangga, “aahh”. Bersamaan semprotan mani Rangga
dalam vaginaku dan semburan maniku yang menciptakan kenikmatan yang tak
pernah kurasakan dan kubayangkan sebelumnya.
Rangga menarik keluar penisnya, lalu
berbaring di sampingku. Kami berdua saling bertatapan, seperti ada
penyesalan tentang apa yang telah terjadi, akan tetapi rupanya nafsu
kami berdua lebih kuat lagi. Kuraih kembali dan kudekatkan wajahku ke
wajah Rangga, kami lalu berciuman lagi dan saling melumat, kemudian
kupegang erat penis Rangga, sehingga kembali menegang dan kembali lagi
kami melakukan hubungan badan tersebut hingga beberapa kali.
Hingga hari ini saya dan Rangga, bila
ada kesempatan masih mencuri waktu dan tempat untuk melakukan hubungan
badan, karena mengejar kenikmatan yang tiada taranya, kadang di kamarku,
di kamar Rangga, ataupun di dalam kamar mandi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar