Pengalamanku saat aku baru menikah 1 tahun, saat itu aku sudah berumah tangga sendiri, karena istriku juga bekerja maka kita mengambil seorang pembantu melalui biro jasa. Pembantuku masih muda sekali usianya kira-kira 16 tahun hanya kulitnya agak putih dan bersih. Dia sampai saat terjadinya kejadian ini sudah bekerja kira-kira 6 bulan.
Saat itu aku ada keperluan mengambil surat-surat yang
tertinggal di rumah, pembantuku Sutini namanya tapi panggilannya Tini
yang membukakan pintu. Karena aku mencari surat yang tertinggal agak
lama maka pintu ditutup lagi oleh Tini dan Tini kelihatannya langsung
mandi. Akhirnya aku temukan suratku itu, tapi karena Tini masih mandi
maka aku tunggu sebentar untuk menutup pintu depan. Aku duduk di
pinggir tempat tidur, memang jendela kamarku menghadap ke belakang
sehingga bisa
lihat kebun juga kamar serta kamar mandi pembantu yang letaknya di
belakang kebun menghadap jendela kamarku. Pintu kamar mandinya kemudian
terbuka dan Tini keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk
dililitkan ke tubuhnya. Mungkin dianggap rumah sepi tak ada yang tahu
jadi dia
berani begitu pikirku. Diam-diam aku perhatikan terus, Tini memasukkan
pakaian kotornya ke ember cucian dan kemudian balik masuk ke kamarnya.
Kamarnya juga tidak ditutup, Tini kelihatan mengambil pakaian dari
lemarinya.
Lalu Tini melepas handuknya dan mengeringkan lagi tubuhnya. Wah,
terlihat sekali badannya yang langsing dan putih bersih dengan buah
dadanya yang hanya kecil dengan puting warna merah jambu serta
kemaluannya yang masih belum ditumbuhi rambut sedikitpun. Kemudian Tini
memakai BH-nya yang tanpa spons dan CD yang mini, lalu memakai rok
bawahan dan kaos. Melihat tubuh yang kecil, bersih dan indah itu
nafsuku bergairah. Setelah Tini selesai menyisir rambutnya yang pendek
ala Yuni Sara dan membedaki mukanya, aku langsung panggil dia.
“Tin”
“Iya pak”.
“Aku tolong pijit sebentar leher dan kepalaku sebab pusing”, sambil aku
duduk di kursi makan. Kemudian Tiniku, walaupun kecil tubuhnya tapi
pijitannya cukup mantap. Habis memijat leher, aku minta mijit bagian
dahi dan pelipis kiri dan kanan. Tini mulai memijitnya, tapi karena
kepalaku goyang-goyang lalu kepalaku tiba-tiba ditariknya ke belakang
dan disandarkan ke dadanya. Aku jadi semakin greng walaupun buah dadanya
kecil sehingga aku hanya merasakan sandarannya agak empuk. Ulahnya
membuat ku mulai bangun sedikit-sedikit, aku jadi penasaran lalu kucoba
tanganku kuturunkan dan menyentuh kakinya. Ternyata Tini diam saja tak
bereaksi negatif. Lalu kuberanikan untuk meraba pahanya, ternyata Tini
tetap diam saja dengan memijit dahiku terus. Rabaanku kuteruskan
dengan 2 tangan di paha kiri dan kanan sambil kupijit pahanya dan
tangan kananku terus merambat ke atas sampai kenya yang tertutup celana
dalam. Saat itu Tini masih diam terus, lalu jariku coba kususupkan
kedalam CD-nya untuk mengutak-atik lubang kemaluannya, saat itu Tini
mulai mendesis dan menggoyangkan pantatnya, “Sseett.. aduh Pak geli
kena kelentitku”. Tetapi karena Tini tidak lari dan tetap memijitku
terus maka pekerjaan tangan itu tak berhenti dan terus berjalan sampai
akhirnya tangannya lepas tak memijit lagi dan memegang lenganku
erat-erat sambil berbisik,
“Pak.. pak.. Tini nggak tahan minta yaak pak?”
“Minta apa Tin?” tanyaku.
Tini tak menjawab hanya memberi kode dengan tangannya yang digenggam
dengan jempolnya dijepit antara jari tengah dan telunjuk, yang berarti
minta disetubuhi. “Katanya kamu masih gadis”, kataku. Tini lalu cerita,
dia sudah dijodohkan di desa kira-kira tahun yang lalu. Pada saat
pulang Lebaran kemarin, dia sudah digauli oleh pacarnya itu sampai
beberapa kali.
“Karena sudah merasakan digauli itu, Tini jadi sering kepingin begitu lagi sekarang” katanya. Dia cerita lagi,
“Apalagi Tini sering lihat bapak dan ibu kalau main, jadi nafsu Tini sering bergelora.”
“Darimana kamu lihat”, tanyaku.
“Ngintip dari celah kordin kamar bapak”, katanya polos.
“Apa tiap malam kamu ngintip”, tanyaku.
“Tidak pak, cuma Tini tahu kebiasaan ibu sebab tiap kali ibu memakai
yang kelihatan BH dan CD-nya itu baru Tini ngintip sebab selalu main”.
Lanjutnya,
“Tini nafsu sekalikalau lihat ibu dengan telanjang lalu mengisap
penisnya bapak dan saat bapak meniduri ibu sampai ibu keluar lendirnya.
Tini juga lihat ibu yang dengan lahapnya meminum air maninya bapak
yang disemprotkan dalam mulutnya ibu.”
“Kalau gitu kamu lihat semua cara-cara bapak dan ibu kalau main?” tanyaku.
“Iya pak, kalau di desa pacar Tini kalau main ya cuma biasa seperti
orang desa itu. Tidak seperti ibu kadang duduk di atas, kadang
bolak-balik ibu menghisap penis bapak dan bapak menghisap kemaluan
ibu.”
“Tini kamu datang bulannya kapan?” tanyaku.
“Sudah lama pak, ini mungkin seminggu lagi dapat haid”, sahutnya.
Karena Tini kepingin dan sudah bukan perawan lagi, lagi pula tak masa
subur langsung aku berdiri dan kulepasi pakaianku dan Tini kusuruh
mengambil kasur lipat di gudang dan dipasang di sebelah meja makan. Aku
langsung tiduran dan Tini kuminta menghisap penisku. Walaupun Tini
sudah lihat teknik-teknik bermain cinta, tetapi karena belum
dipraktekan jadi rasanya belum nikmat seperti istriku. Tini kusuruh
melepas semua pakaiannya sampai bugil. Lalu buah dadanya kucoba kuremas
tapi karena masih kecil jadi sulit, aku hanya bisa memencet putingnya
lalu kuhisap-hisap juga sampai mengusap-usap kemaluannya yang gundul.
Tini memegang penisku dan menciuminya sambil bekata, “Kalau penis orang
desa itu kecil-kecil Pak tidak ada yang gede seperti punya bapak ini.
Kalau gede kan bisa marem rasanya.” Saat kupegang dan kumasukkan jariku
kelubang kemaluannya selain memang masih sempit lubangnya juga
lendirnya sudah banyak sekali tetapi encer tak sekental punya istriku.
Ada lendir cewek yang banyak ini, aku makin bernafsu, Aku minta Tini
main 69 atau bolak-balik menurut istilahnya. Tini yang di atas sambil
menghisap penisku dan aku di bawah mempermainkan kemaluannya dengan
mulut dan lidahku. Clitorisnya kujilati sambil lubang kemaluannya
kumasuki 2 jari dan kugelitik bagian dalamnya.
“Aduuh.. pak. Kemaluanku geli sekali rasanya.. aduuh Tini mau keluar
lendirnya pak.” Mendengar itu langsung lubang kemaluannya kucucup dan
terus kusedot-sedot dengan kuat sampai terasa, suur.. suur.. suur,
dengan disertai rintihan Tini, “Pak.. pak.. air santannya Tini sudah
keluar semua.” Kemudian kulihat lubangnya ternyata masih cukup banyak
air santannya di lubangnya dan setelah kusedot lagi kubersihkan
santan-santan yang lepas menempel di bibir kemaluannya dan terasa penuh
mulutku dengan maninya. Saat kutelan rasanya sama seperti punya
istriku yaitu asam-asam asin, hanya punya Tini lebih banyak tapi encer.
Mungkin makin berumur lendirnya makin kental. Karena aku belum keluar
maka segera kutancapkan penisku ke lubangnya. Begitu kumasukkan total
seluruh batang penisku, Tini merintih, “Ssst.. aduh enaknya, Pak burung
bapak rasanya nikmat sekali beda jauh dengan punya pacar saya.”
Rintihan itu makin membuatku garang dan kuhunjamkan terus dengan agak
keras dan cepat penisku ke lubang kemaluannya sampai Tini betul-betul
tak tahan nikmatnya dengan menggelinjang-gelinjang terus. Pikirku
pembantu yang kurang ajar berani mengintip ini mesti diajar betul.
Kira-kira 10 menit berlalu baru aku mencapai klimaks dan kemaluannya
kusemprot dengan maniku dan Tini berbisik, “Aduuh hangatnya penisnya
bapak dan air maninya.” Selesai main Tini kuminta mencuci penisku di
kamar mandinya. Sambil mencuci Tini bilang, “Waah, bapak mainnya hebat
sih, pantasan ibu sering minta terus. Tini juga nanti minta lagi ya!”
Aku menyanggupi permintaanya asal jangan saat masa subur dan kira-kira
jam 10 pagi. Aku menyanggupi karena kupikir tubuhnya bersih dan tak ada
penyakitnya serta karena baru seorang yang pakai yaitu pacarnya
walaupun buah dadanya kecil, tapi putingnya kalau dihisap, dia
terangsang banget. Jadi kalau nanti kepingin ditiduri, Tini pura-pura
batuk-batuk kecil saat mengepel lantai ruang tamu dimana saya selalu
duduk membaca koran. Lalu dia memberi
koda manggut-manggut. Kejadian ini berulang terus kira-kira setiap 2
minggu sekali selama kurang lebih 4 bulan sampai akhirnya dia pamit
keluar karena disuruh menikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar